Perempuan Dalam Dunia Seni dan Kesusasteraan Barat
Orang-orang Barat terjerumus ke dalam sikap yang tidak proporsional (ifrat dan tafrit) berkenaan dengan karakter perempuan dan sikap masyarakat terhadap perempuan. Mereka pada dasarnya tidak mengakui adanya kesetaraan atau keseimbangan dalam memandang kaum perempuan. Slogan-slogan mereka absurd dan nonsen belaka. Barat memiliki paham dan penalaran tersendiri yang lahir di Eropa tentang perempuan. Di manapun paham ini ada, asalnya pasti Eropa.Budaya Barat tidak dapat dibaca dari slogan-slogannya, melainkan dari literaturnya. Orang yang mengenal literatur Eropa, dari puisi-puisi, karya roman, novel sampai naskah-nasah drama Eropa pasti mengetahui bahwa dalam kultur Eropa sejak Abad Pertengahan sampai sekarang kaum perempuan dipandang sebagai makhluk kelas dua, walaupun slogan-slogan Barat berkonten sebaliknya.
Dari karya-karya tersohor William Shakespeare asal Inggris maupun karya-karya Barat lainnya bisa dilihat bagaimana mentalitas, tutur kata dan paradigma Barat tentang perempuan. Dalam kesusastraan Barat yang sebagian masih beredar di masyarakat sampai sekarang laki-laki dipandang sebagai juragan terhormat yang memiliki hak sepenuhnya atas perempuan.
Orang-orang Eropa menindas kaum perempuan bukan hanya dalam kegiatan industri dan lain sebagainya, tetapi juga di bidang seni dan kesusasteraan. Dalam karya-karya novel, roman, lukisan dan berbagai karya seni lainnya, bagaimana pandangan mereka terhadap kaum perempuan? Benarkah mereka memandang perempuan dari aspek normatis dan keagungan martabatnya? Apakah mereka mengindahkan kelembutan naluri yang dititipkan Allah kepada kaum perempuan, yaitu naluri keibuan dan animonya untuk merawat dan mendidik anak? Ataukah mereka hanya mengeksplorasi kaum perempuan dari aspek daya tariknya untuk memuaskan nafsu birahi atau apa yang mereka sebut secara salah kaprah dengan cinta?
Mereka sengaja membudayakan perempuan sebagai konsumen yang tak segan mengamburkan uang atau sebagai pekerja dan buruh murah yang tak banyak harap. Dalam karya-karya roman dan puisi Eropa banyak cerita pertengkaran rumah tangga yang berujung pada pembunuhan isteri oleh suami tanpa ada cemoohan dari orang lain! Seorang gadis di rumah orang tuanyapun tidak diberi hak untuk menentukan pilihan sendiri.
Dalam naskah-naskah drama mereka tergambar jelas bagaimana perempuan dipaksa menikahi seseorang, dihabisi nyawanya oleh suami dan tertekan total dalam kehidupan rumah tangga. Inilah yang terpampang dalam etalase kesusasteraan Barat. Hingga pertengahan abad inipun budaya ini masih berkelanjutan meskipun pada akhir-akhir abad ke-19 mulai terjadi gerakan-gerakan berlabel emansipasi wanita.
Kontra Peradaban
Peradaban Romawi yang dominan sekarang menyentuh semua persoalan, kecuali dua atau tiga item yang salah satunya -mungkin ini yang paling krusial- adalah pergaulan antara perempuan dan laki-laki. Barat tidak betah tanpa kebebasan seksual; segalanya boleh saja diatur, kecuali yang satu ini. Di mata mereka, mengusik kebebasan ini adalah tindakan bodoh dan kolot. Negara manapun yang membatasi pergaulan laki-laki dengan perempuan mereka anggap sebagai kontra peradaban! Mereka benar, sebab hanya inilah peradaban yang mereka bangun di atas puing-puing peradaban Romawi. Hanya saja, secara normatis mereka keliru. Yang benar adalah sebaliknya.
Keteraniayaan Perempuan di Tengah Masyarakat Barat
Di tengah masyarakat berbudaya Barat, perempuan terjajakan sebagai obyek kenikmatan kaum lelaki, bukan sebagai pribadi independen yang tidak bersangkut paut dengan urusan lain. Perempuan di sana terdefinisi sebagai entitas yang harus menyesuaikan perilaku dan penampilannya dengan hasrat dan kesenangan para lelaki di jalanan.
Perempuan harus bersedia menerima perilaku-perilaku liar para lelaki! Inilah yang mewarnai mentalitas masyarakat di sana. Pengecualian tentu ada, tapi warna itulah yang menonjol. Sama sekali tidak ada sikap takzim untuk kaum perempuan. Di mana setiap lowongan dan rekrutmen buru tidak ada pembedaan untuk laki-laki dan perempuan. Tenaga perempuan harus diperah dimanapun juragan menemukan keuntungan.
Perempuan yang seharusnya dipertimbangkan untuk pekerjaan-pekerjaan harian yang keras sama sekali tidak dipertimbangkan. Sedangkan ketika kaum lelaki hendak menjadikan perempuan sebagai obyek pemuas hasrat laki-laki maka semua fasilitas dikerahkan demi obsesi ini tanpa ada celah lagi untuk pertahanan martabat perempuan.
Glamorisme Sebagai Faktor Penyimpangan
Menurut hemat saya, kecenderungan kepada glamorisme, hedonisme dan kosmetisme adalah faktor terbesar yang menyebabkan maraknya penyimpangan di tengah masyarakat dan kaum perempuan. Supaya perempuan menjadi obyek yang sesuai dengan selera mereka, Barat tak henti-hentinya membuat mode dan menyibukkan perhatian orang kepada tampilan-tampilan artifisial.
Ketika perhatian orang tertuju pada tampilan luar sedemikian rupa, lantas kapan ia bisa diharap menggapai norma-norma sejati?! Ketika benak kaum perempuan sudah terjejali oleh soal penampilan untuk mengundang perhatian laki-laki maka siapa lagi yang dapat diharap sudi memikirkan kebersihan moral?
Para imperialis Eropa tidak ingin melihat kaum perempuan di tengah komunitas masyarakat Dunia Ketiga tercerah dan tergerakkan oleh idealisme luhur, apalagi bersama suami dan anak-anaknya. Karena itu, kaum wanita muda yang hidup di masyarakat Islam harus berhati-hati agar tidak terjebak pada perangkap-perangkap budaya dan pemikiran Barat yang berbahaya dan menjerumuskan. Kaum muslimat harus menangkis budaya ini.
Pengertian Kebebasan Wanita Dalam Budaya Barat
Kebebasan wanita adalah salah satu slogan yang paling gencar dikumandangkan Barat. Emansipasi ini meliputi banyak hal, termasuk kebebasan dari pengekangan, kebebasan dari etika -sebab etika mengandung pengekangan-, kebebasan dari eksploitasi pengusaha yang mempekerjakan perempuan dengan upah lebih rendah dari laki-laki, kebebasan dari hukum yang mengikat perempuan di depan suaminya. Kebebasan mengandung makna-makna demikian. Namun, dalam konteks slogan yang sama, banyak sekali tuntutan dan aspirasi yang sebagian cenderung paradoks.
Apa sesungguhnya makna kebebasan ini? Secara naif, Barat lebih cenderung mengasosiasikan kebebasan pada makna yang salah dan menyesatkan. Barat kebablasan sehingga juga mengartikan kebebasan dengan pembebasan perempuan dari ketentuan keluarga, pembebasan mutlak perempuan dari kewenangan suami dan bahkan dari ketentuan perkawinan dan rumah tangga, termasuk kewajiban memelihara dan mendidik anak, walaupun semua ini harus dikorbankan demi kecenderungan-kecenderungan hewani dan kesenangan-kesenangan yang bersifat sementara.
Pembebasan seperti ini jelas keliru. Sedemikian parahnya kekeliruan ini sehingga di Barat bahkan muncul wacana kebebasan melakukan aborsi. Ini krusial sekali. Sepintas lalu terlihat sederhana, tapi konsekwensinya sangat berbahaya. Di Barat aborsi sering disuarakan sebagai slogan dan bagian dari gerakan kebebasan wanita.
Dunia arogan salah besar ketika beranggapan yang bahwa nilai dan reputasi perempuan terletak pada kosmetika dan daya tarik fisiknya untuk setiap laki-laki. Apa yang dikumandangkan sekarang di dunia sebagai kebebasan wanita dan tertanam kuat dalam budaya dekaden Barat selalu mengacu pada asumsi bahwa perempuan adalah obyek kesenangan setiap setiap laki-laki. Kaum jahiliah modern yang tersesat dalam peradaban Barat selalu mengaku peduli kepada hak asasi perempuan, tapi faktanya mereka justru menindas kaum perempuan.
Gerakan Pembelaan Kaum Perempuan di Barat
Di tengah iklim penindasan terhadap kaum perempuan, gerakan kepedulian kepada nasib mereka telah terjerumus kepada sikap-sikap ekstrim. Dalam beberapa dekade, maraknya amoralitas dan pergaulan bebas tanpa batas di Barat yang dikemas sebagai kebebasan wanita telah membuat para pemikir Barat sendiri miris. Orang-orang yang berakal sehat, bijak dan reformis sejati di dunia Barat sendiri kecewa menyaksikan apa yang terjadi di sekitar mereka tanpa mereka mampu berbuat sesuatu untuk mencegahnya.
Apa yang disebut sebagai pengabdian untuk kaum perempuan justru telah menyebabkan kehancuran yang paling tragis dalam kehidupan kaum perempuan. Merebaknya amoralitas dan kebebasan secara bablas dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan telah menggerogoti fondasi rumah tangga. Sebab, laki-laki pengumbar hawa nafsu tidak akan mungkin bisa menjadi suami yang baik, sebagaimana perempuan yang terbiasa hidup dalam pergaulan bebas dengan laki-laki tidak mungkin akan menjadi isteri yang baik.
Pada hakikatnya, gerakan peduli nasib kaum perempuan versi Barat adalah gerakan yang sangat memalukan, tidak rasional, bercorak jahiliah, menyalahi sunnatullah, berlawanan dengan bawaan alamiah perempuan dan laki-laki dan hanya merugikan bagi kaum perempuan maupun laki-laki. Gerakan ini tak patut ditiru. Di negara Muslim manapun gerakan itu justru harus ditangkal.
Penindasan Perempuan Dalam Rumah Tangga
Dalam tradisi Barat, ketika perempuan sudah menikah, menjadi isteri dan hidup bersama suaminya dalam sebuah rumah tangga, nama famili atau nama marga isteri berubah menjadi nama marga suami. Di Iran tidak demikian, baik dulu maupun sekarang. Dalam budaya Eropa, perempuan yang sudah menikah bukan hanya harus mempersembahkan jasmaninya kepada suami, tetapi juga harus menyerahkan semua harta benda miliknya, termasuk harta yang diwariskan oleh kedua orang tuanya! Ini fakta yang tidak bisa disangkal oleh Barat.
Dalam budaya Barat, perempuan yang menikah dan masuk ke rumah suami, berarti suami memiliki hak bahkan atas nyawanya. Karena itu, dalam karya-karya roman dan sastra Barat terekam jelas banyak kasus pembunuhan perempuan oleh suaminya akibat percekcokan dalam rumah tangga tanpa ada orang lain mencela perbuatan suami. Kemudian, perempuan di rumah orang tuanya juga tidak diberi hak untuk menentukan pilihan sendiri. Meskipun dulu perempuan di Barat sudah relatif bebas dalam pergaulan dengan laki-laki tapi keputusan soal jodoh bagi seorang gadis hanya ada di tangan ayahnya.
Dalam rumah tangga, perempuan yang bekerja di luar rumah seperti suaminya memiliki jam kerja yang sama persis dengan suaminya. Ini juga merupakan satu bentuk penindasan terhadap perempuan. Mengapa? Sebab perempuan bukan laki-laki. Tidak seharusnya jam pergi dan pulang kerja serta waktu istirahat perempuan disamakan dengan laki-laki. Keduanya saling membutuhkan.
Penyamaan itu bahkan juga merupakan kezaliman terhadap laki-laki. Akibatnya, banyak kasus suami berselingkuh dengan perempuan-perempuan lain. Suami menjalin hubungan asmara secara gelap dengan perempuan lain yang tak kalah mesranya dengan kecintaan pada isteri sendiri. Ini jelas satu pukulan terbesar bagi perempuan. Seorang isteri pasti berharap dapat hidup sedekat dan semesra mungkin dengan pasangan hidupnya. Namun, harapan inilah yang justru pertama kali terampas dari kaum perempuan!
Penolakan Terhadap Budaya Muslimat
Hijab adalah ketentuan wanita muslimah yang paling dibenci Barat karena bertolak belakang dengan budaya Barat. Orang-orang Eropa merasa bahwa segala hasil pemikiran mereka harus diterima oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Mereka ingin menaklukkan ketercerahan dunia dengan kejahiliahan. Mereka berobsesi membumikan trend perempuan Eropa yang identik dengan modisme, hedonisme, kosmetisme dan keterpurukan perempuan sebagai obyek seksualisme. Mereka ingin semua ini dimainkan oleh kaum perempuan sendiri. Mereka berteriak kencang ketika obsesi itu mendapat perlawanan. Mereka pantang bersikap toleran terhadap segala sesuatu yang menyalahi prinsip-prinsip mereka.
Kegencaran mereka membuat mereka berhasil menebar pengaruhnya ke semua penjuru dunia, kecuali lingkungan yang benar-benar Islami. Mereka berhasil menebar trend kosmetisme, hedonisme dan sensualisme perempuan di negara-negara miskin di Afrika, Amerika Latin, Asia Timur dan berbagai belahan dunia lainnya. Peluru mereka menembus semua sasaran, kecuali lingkungan-lingkungan Islam, terutama masyarakat besar Republik Islam Iran sehingga Iran menjadi musuh besar mereka.
Hak Kepemilikan Perempuan
Sejak dahulu kala sampai sekitar 60 atau 70 tahun silam, perempuan di Eropa dan seluruh negara Barat berada di bawah kekuasaan penuh laki-laki, entah suami atau juragannya di pabrik atau perkebunan. Dalam masyarakat peradaban di sana perempuan tidak memiliki hak asasi apapun, termasuk hak suara, hak kepemilikan dan bertransaksi. Tapi di kemudian hari perempuan dibiarkan terjun ke lapangan kerja dan berbagai kegiatan sosial.
Sesuai penelitian ekstra cermat para sosiolog Eropa sendiri, perempuan diberi hak kepemilikan setelah sektor-sektor perindustrian modern di Barat mengalami perkembangan pesat dan membutuhkan buruh dalam jumlah besar. Karena itu, kaum perempuan akhirnya dipekerjakan, tapi dengan upah lebih rendah daripada laki-laki. Sejak itulah, yaitu pada awal-awal abad ke-20, Barat mendeklarasikan hak kepemilikan kaum perempuan! Tapi sejak itu pula Barat menebar jebakan-jebakan untuk menjerat kaum perempuan dan membiarkan mereka hidup tanpa perlindungan di tengah masyarakat; terjadi paradigma ekstrim dan kejam terhadap kaum perempuan di Barat dan Eropa.
Di Islam sama sekali tidak demikian. Islam mengakui hak kepemilikan perempuan atas harta benda. Tanpa memperhitungkan suka atau tidaknya pihak suami atau ayah, Islam membolehkan perempuan memiliki atau menggunakan harta benda miliknya sesuka hatinya. Dalam soal independensi ekonomi perempuan, dunia tertinggal 13 abad dari Islam. (IRIB/Khamenei)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar