Pencarian Isi Blogg Ini

Kamis, 17 Januari 2013

Kedamaian Sunni Dan Syiah Di Jepara

Pesantren Syiah, Darut Taqrib, berdiri di tengah lingkungan Nahdlatul Ulama, yang merupakan penganut Sunni di Desa Candi Bangsri, Jepara. Meski beberapa praktek peribadatannya berbeda, warga Syiah dan warga NU hidup damai di wilayah ini. Menurut Miqdad Turkan, murid Abdul Ghadir Bafaqih, pendiri aliran Syiah di Jepara, ada beberapa faktor yang menyebabkan kaum Syiah dan Sunni di Jepara bisa hidup damai.
Ada faktor hubungan kekerabatan dan pertemanan sejak lama. “Banyak tokoh kiai di Jepara dan sekitarnya pernah menjadi murid Ghadir,” kata Miqdad. Karena itu, ketika Abdul Ghadir beralih ke Syiah, muridnya tahu bahwa Abdul Ghadir memang berbeda sejak awal, sehingga tak menimbulkan masalah.

Selain itu, para kiai muda di Jepara juga berteman baik sejak di bangku sekolah. Yang tak kalang penting, kata Miqdad, kaum Syiah di sana tak pernah bertindak ekstrem atau berambisi mengajak orang Sunni masuk ke Syiah. “Orang Syiah berkembang secara alamiah dan orang lain melihat Syiah juga secara alamiah pula,” katanya.
Bagi Miqdad, secara naluriah, orang terus berproses dalam pencarian akibat ketidakpuasan spiritual. “Silakan diskusi. Selanjutnya Anda jadi Syiah atau tidak, itu hak anda. Orang yang bijak adalah yang bisa memahami orang lain tanpa harus mengikuti,” kata Miqdad.
Muhammad Ali, salah satu pengasuh pondok Darut Taqrib, menyatakan menjadi penganut Syiah secara alamiah setelah banyak membaca buku. “Saat umur 16 tahun, saya banyak membaca buku tentang Islam dan masyarakat, serta tentang Islam dan tantangan zaman,” katanya. Setelah itu, dia mondok di Pekalongan.
Sebelumnya, Ali adalah penganut Sunni tulen. Keluarganya pun pengikut setia Sunni. Kini, Ali beralih ke Syiah, sedangkan keluarganya masih ikut Sunni. Keluarga Ali juga tak mempersoalkan pilihan keyakinan anaknya. “Perbedaaan dalam hal kehidupan adalah sesuatu yang biasa, yang penting saling menghargai,” katanya.
Miqdad menambahkan, silakan menjadi pengikut Syiah atau Sunni. “Yang penting jangan berhenti belajar dan selalu membela kaum mustad’afin (kaum lemah),” ujarnya. Miqdad mencontohkan, penganut Syiah dan Sunni di Jepara sering melakukan salat berjamaah. Miqdad mengatakan, dalam salat berjamaah itu, tangan penganut Sunni bersedekap, sedangkan tangan penganut Syiah tidak demikian. “Tidak ada masalah. Itu hanya perbedaan yang tak substansial,” katanya.
Miqdad memperkirakan bahwa konflik antara kaum Syiah dan Sunni yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia menunjukan ketidakpahaman mereka tentang Syiah. Dia menjamin hubungan Syiah-Sunni di Jepara akan tetap aman. “Kecuali kalau ada provokator dari luar daerah,” kata dia.
Menurut Miqdad, yang menarik perhatian masyarakat lain terhadap Syiah adalah kisah heroisme beberapa tokoh, misalnya pemimpin Hizbullah Lebanon, Syekh Hasan Nasrullah; Presiden Iran Mahmoud Ahmadinnejad, dan pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Khomeini.
Selain di Jepara, jemaah Ahlul Bait ada di Semarang. Sekitar 200 penganut Syiah terpencar di seantero Semarang. Berbeda dari sebelumnya, kini penganut Syiah tak lagi bersembunyi (taqiyah). Di Kampung Bulu, Stalan, misalnya, meski hanya ada tiga keluarga penganut Syiah, mereka sudah secara terbuka menunjukkan keyakinannya sebagai penganut Syiah.
Pengurus Yayasan Nuruts Tsaqalain, Nurkholishm menyatakan penyebaran Syiah tak dilakukan melalui doktrinasi. “Salah besar jika ada anggapan kalau Syiah berkembang di Indonesia karena mobilisasi,” katanya. Beralihnya seseorang menjadi Syiah lebih didasarkan pada pencarian kepuasan keilmuan. Salah satunya melalui buku. Pada 2009, buku tentang Syiah berjumlah sekitar 750 judul.
Pencarian kepuasan ilmu memang menjadi ciri khas penganut Syiah. Berbagai tema kehidupan juga menjadi bahan diskusi mereka. Namun kini komunitas Syiah juga mulai berkonsentrasi pada kegiatan sosial. “Dialog intelektual diminimalkan karena kebutuhan masyarakat luas adalah aksi nyata,” kata Nurkholis.
Jemaah Syiah di Jepara dan Semarang sering menyalurkan beasiswa, membedah rumah, melakukan bakti sosial, mendonorkan darah, dan membantu korban bencana alam. Mereka juga bekerja sama dengan berbagai kelompok penganut agama lain tanpa mengibarkan atribut apa pun.
Pengajar Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, Muhksin Jamil, yang menyusun disertasi tentang Syiah di Jepara, menyatakan komunitas Syiah Jepara terbangun atas dasar persamaan proses pencarian kepuasan keilmuan dan peribadatan. Yang tak kalah penting, kata Muhksin, penganut Syiah tak menutup mata terhadap masalah sosial. “Mereka sering membela kaum mustad’afin (kaum lemah) dengan membedah rumah, memberi beasiswa, dan menyalurkan bantuan,” katanya.
Pesantren Syiah, Darut Taqrib, berdiri di tengah lingkungan Nahdlatul Ulama, yang merupakan penganut Sunni di Desa Candi Bangsri, Jepara. Meski beberapa praktek peribadatannya berbeda, warga Syiah dan warga NU hidup damai di wilayah ini. Menurut Miqdad Turkan, murid Abdul Ghadir Bafaqih, pendiri aliran Syiah di Jepara, ada beberapa faktor yang menyebabkan kaum Syiah dan Sunni di Jepara bisa hidup damai.
Ada faktor hubungan kekerabatan dan pertemanan sejak lama. “Banyak tokoh kiai di Jepara dan sekitarnya pernah menjadi murid Ghadir,” kata Miqdad. Karena itu, ketika Abdul Ghadir beralih ke Syiah, muridnya tahu bahwa Abdul Ghadir memang berbeda sejak awal, sehingga tak menimbulkan masalah.
Selain itu, para kiai muda di Jepara juga berteman baik sejak di bangku sekolah. Yang tak kalang penting, kata Miqdad, kaum Syiah di sana tak pernah bertindak ekstrem atau berambisi mengajak orang Sunni masuk ke Syiah. “Orang Syiah berkembang secara alamiah dan orang lain melihat Syiah juga secara alamiah pula,” katanya.
Bagi Miqdad, secara naluriah, orang terus berproses dalam pencarian akibat ketidakpuasan spiritual. “Silakan diskusi. Selanjutnya Anda jadi Syiah atau tidak, itu hak anda. Orang yang bijak adalah yang bisa memahami orang lain tanpa harus mengikuti,” kata Miqdad.
Muhammad Ali, salah satu pengasuh pondok Darut Taqrib, menyatakan menjadi penganut Syiah secara alamiah setelah banyak membaca buku. “Saat umur 16 tahun, saya banyak membaca buku tentang Islam dan masyarakat, serta tentang Islam dan tantangan zaman,” katanya. Setelah itu, dia mondok di Pekalongan.
Sebelumnya, Ali adalah penganut Sunni tulen. Keluarganya pun pengikut setia Sunni. Kini, Ali beralih ke Syiah, sedangkan keluarganya masih ikut Sunni. Keluarga Ali juga tak mempersoalkan pilihan keyakinan anaknya. “Perbedaaan dalam hal kehidupan adalah sesuatu yang biasa, yang penting saling menghargai,” katanya.
Miqdad menambahkan, silakan menjadi pengikut Syiah atau Sunni. “Yang penting jangan berhenti belajar dan selalu membela kaum mustad’afin (kaum lemah),” ujarnya. Miqdad mencontohkan, penganut Syiah dan Sunni di Jepara sering melakukan salat berjamaah. Miqdad mengatakan, dalam salat berjamaah itu, tangan penganut Sunni bersedekap, sedangkan tangan penganut Syiah tidak demikian. “Tidak ada masalah. Itu hanya perbedaan yang tak substansial,” katanya.
Miqdad memperkirakan bahwa konflik antara kaum Syiah dan Sunni yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia menunjukan ketidakpahaman mereka tentang Syiah. Dia menjamin hubungan Syiah-Sunni di Jepara akan tetap aman. “Kecuali kalau ada provokator dari luar daerah,” kata dia.
Menurut Miqdad, yang menarik perhatian masyarakat lain terhadap Syiah adalah kisah heroisme beberapa tokoh, misalnya pemimpin Hizbullah Lebanon, Syekh Hasan Nasrullah; Presiden Iran Mahmoud Ahmadinnejad, dan pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Khomeini.
Selain di Jepara, jemaah Ahlul Bait ada di Semarang. Sekitar 200 penganut Syiah terpencar di seantero Semarang. Berbeda dari sebelumnya, kini penganut Syiah tak lagi bersembunyi (taqiyah). Di Kampung Bulu, Stalan, misalnya, meski hanya ada tiga keluarga penganut Syiah, mereka sudah secara terbuka menunjukkan keyakinannya sebagai penganut Syiah.
Pengurus Yayasan Nuruts Tsaqalain, Nurkholishm menyatakan penyebaran Syiah tak dilakukan melalui doktrinasi. “Salah besar jika ada anggapan kalau Syiah berkembang di Indonesia karena mobilisasi,” katanya. Beralihnya seseorang menjadi Syiah lebih didasarkan pada pencarian kepuasan keilmuan. Salah satunya melalui buku. Pada 2009, buku tentang Syiah berjumlah sekitar 750 judul.
Pencarian kepuasan ilmu memang menjadi ciri khas penganut Syiah. Berbagai tema kehidupan juga menjadi bahan diskusi mereka. Namun kini komunitas Syiah juga mulai berkonsentrasi pada kegiatan sosial. “Dialog intelektual diminimalkan karena kebutuhan masyarakat luas adalah aksi nyata,” kata Nurkholis.
Jemaah Syiah di Jepara dan Semarang sering menyalurkan beasiswa, membedah rumah, melakukan bakti sosial, mendonorkan darah, dan membantu korban bencana alam. Mereka juga bekerja sama dengan berbagai kelompok penganut agama lain tanpa mengibarkan atribut apa pun.
Pengajar Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, Muhksin Jamil, yang menyusun disertasi tentang Syiah di Jepara, menyatakan komunitas Syiah Jepara terbangun atas dasar persamaan proses pencarian kepuasan keilmuan dan peribadatan. Yang tak kalah penting, kata Muhksin, penganut Syiah tak menutup mata terhadap masalah sosial. “Mereka sering membela kaum mustad’afin (kaum lemah) dengan membedah rumah, memberi beasiswa, dan menyalurkan bantuan,” katanya. (DarutTaqrib/Koran Tempo/Adrikna!)

Tidak ada komentar: