Pencarian Isi Blogg Ini

Senin, 17 Desember 2012

TAWASSUL, RAHASIA MAQBULNYA DO’A. AMALAN MULIA YANG DILUPAKAN UMAT

Latar belakang penulisan catatan ini adalah karena adanya sebagian kalangan umat Islam yang menganggap bahwa Tawassul kepada Nabi Muhammad saww, Ahlul Baitnya dan Para Awliya/Wali - Wali Allah, merupakan perbuatan Bid’ah, tidak pernah dicontohkan oleh Baginda Rasul saww dan dapat tergolong perbuatan Syirik. Lebih lanjut, mereka beranggapan bahwa Tawassul yang diperbolehkan hanyalah melalui Amal Shaleh dan ketaatan kepada Allah saja. Benarkah seperti itu ???  Bacalah dengan seksama catatan ringkas di bawah ini :

Adapun secara istilah Syar’i, definisi Tawassul adalah : perantara yang berharga bagi seorang hamba untuk bisa memperoleh kedekatan dengan Allah. Secara bahasa, Ibnu Mandhur, dalam Lisanul ‘Arab, juz 11 hal.724 mendefinisikan Bertawassul kepada seseorang artinya mendekat kepada orang tersebut melalui penghormatan yang dapat menarik/mencuri perhatiannya.
Dalil bertawassul dalam Al Qur’an dapat kita jumpai dalam Surah Al Maidah ayat 35, Allah berfirman :
“Wahai orang – orang yang beriman ! Bertakwalah kepada Allah dan carilah Wasilah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung.” {QS.Al Maidah : 35}
Jauhari dalam Dhihahul Lughah mendefinisikan Wasilah sebagai berikut :
“Al Wasiilatu maa yataqorrobu bihi ilal ghoir”
Artinya :
“Wasilah adalah mendekat kepada sesuatu dengan melalui sesuatu yang lain”
Sesungguhnya ada tiga cara bertawassul, yaitu :
1. Bertawassulnya seseorang kepada Allah melalui ketaatannya dan amal shalehnya. Contohnya pada tiga orang yang terkurung oleh batu besar di sebuah gua. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya ( jilid 3, No. 418)
2. Bertawassulnya seseorang dengan doa hamba Allah yang layak, yakni manusia – manusia yang memiliki spiritualitas tingkat tinggi dan kedudukan khusus di sisi Allah (Para Nabi dan Rasul serta para Awliya/Waliyullah) ketika mereka masih hidup, seperti yang dilakukan oleh saudara – saudara Nabi Yusuf as. Dalam Al Qur’an Allah berfirman :
“Mereka berkata; Wahai ayah kami, mohonkanlah ampunan untuk kami atas dosa – dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah. Dia (Yakub) berkata; Aku akan memohonkan ampunan untuk kalian kepada Tuhanku. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” {QS.Yusuf : 97 – 98}
Dari ayat di atas, jelas bahwa anak – anak Nabi Yakub as memohon ampunan Allah dengan bertawassul kepada Nabi Yakub as sebagai wasilah (jalan perantara) pengampunan mereka. Perhatikan sikap Nabi Yakub as dalam ayat ini, beliau as sama sekali tidak menegur sikap anak – anaknya itu, beliau as malah menjanjikan bahwa Allah akan mengampuni mereka.
Tawassul dengan cara ini juga dilakukan oleh para Sahabat di zaman hidupnya Rasulullah saww. Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya juz 4 hal.138 dari Utsman bin Hunaif meriwayatkan sebagai berikut :
“Seorang lelaki buta datang menemui Rasulullah saww dan berkata : Mataku buta, aku mohon agar engkau mendoakanku supaya Allah menyembuhkanku.  Nabi Muhammad saww lalu berkata Ambillah air wudhu dan lakukan shalat dua rakaat lalu berdoa seperti ini; “ Ya Allah aku memohon dan menghadap kepada-Mu melalui perantara Nabi-Mu Muhammad saww, sebagai Nabi yang penuh rasa kasih. Wahai Muhammad, melalui perantaraanmu aku menghadap Allah agar Allah menyembuhkan penglihatanku. Ya Allah, jadikanlah beliau (Nabi Muhammad saww) sebagai pemberi Syafaatku.” Nabi Muhammad saww menambahkan, Dan sekiranya engkau memiliki hajat – hajat yang lain, maka lakukanlah hal yang sama !”
Riwayat ini telah disepakati para ahli Hadits, Hakim Nisyaburi dalam kitab Mustadrak juz 1 hal.313, setelah menukil hadis ini menyatakan bahwa hadits ini shahih. Ibnu Majah menukil dari Abu Ishak berkata :”Ini riwayat shahih”. Turmudzi dalam kitab Abwabul Ad’iyah juga menyatakan bahwa Hadits ini shahih, begitu juga dalam kitab Tawassul ila Haqiqat Tawassul, beliau berkata :”Tidak diragukan lagi, hadis ini shahih dan masyhur.”
Dari riwayat ini, sangat jelas diperbolehkannya bertawassul dengan Rasulullah saww untuk memenuhi segala hajat/kebutuhannya, bahkan Rasulullah saww memerintahkan lelaki buta itu dalam doanya agar menjadikan diri Rasul saww sebagai wasilah (perantara) kepada Allah.
Bertawassul kepada Nabi saww dan Wali – Wali Allah merupakan hal yang wajar dan umum. Pada periode awal Islam, umat Islam senantiasa membuat syair tentang Rasulullah saww sebagai sarana wasilah antara dirinya dengan Allah. Thabrani meriwayatkan bahwa suatu ketika Sawad bin Qarib membacakan bait – bait kasidah untuk Rasulullah saww di depan beliau saww, di antara bait – bait tersebut berbunyi :
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia (Allah),
Dan engkau (Muhammad) benar – benar aman dari segala yang terselubung,
Engkau di antara para Nabi,
Yang paling dekat Wasilahnya kepada Allah,
Wahai putra manusia – manusia mulia dan suci.”
Ketika Rasulullah saww mendengar bait – bait ini, beliau saww tidak menunjukkan sikap tidak setuju, tidak pula beliau saww menyatakan bahwa perbuatan tersebut tergolong bid’ah atau syirik.
Contoh yang lain lagi adalah : Dalam Shahih al-Bukhori. Hadis 559, diriwayatkan oleh Anas : Tatkala kekeringan melanda, Umar bin Khatab sering meminta diturunkannya hujan kepada Allah melalui Abbas bin Abdul Muthalib. Ia berkata :”Ya Allah, di zaman Rasulullah saww kami bertawassul kepada-Mu dan Engkau menurunkan hujan. Sekarang kami bertawassul melalui paman Nabi saww, kenyangkan kami dengan air” Maka hujan pun turun kepada mereka.
3. Bertawassulnya seseorang dengan wasilah hamba Allah yang layak, yakni manusia – manusia yang memiliki spiritualitas tingkat tinggi dan kedudukan khusus di sisi Allah (Para Nabi dan Rasul serta para Awliya/Waliyullah) di saat mereka sudah meninggal.
Thabrani, dalam kitabnya al-Mu’jam as-Saghir, meriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa ada seorang lelaki yang mengunjungi Khalifah Utsman bin Affan berulang kali untuk mendapatkan sesuatu yang ia butuhkan. Tetapi Khalifah Utsman belum memperhatikan kebutuhannya tersebut, sampai akhirnya Lelaki itu bertemu dengan Ibnu Hunaif dan mengeluhkan persoalannya. Peristiwa ini terjadi setelah Nabi Muhammad saww wafat dan setelah kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Utsman bin Hunaif, kemudian berkata : Berwudulah, lalu pergi ke masjid. Lakukanlah sholat dua rakaat dan bacalah doa ini “ Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap-Mu melalui Rasul kami, Muhammad Rahmat bagi alam semesta. Wahai Muhammad, aku minta tolong kepadamu agar engkau sampaikan kepada Tuhanku agar Dia mengabulkan hajatku.” lalu sebutkanlah hajatmu. Setelah itu temuilah aku agar aku bisa mengantarmu menemui Khalifah Utsman. Lelaki itu pun pergi melakukan semua itu. Kemudian ia menuju pintu rumah Utsman. Seorang penjaga menggandeng tangannya dan membawanya kepada Khalifah Utsman Ibnu Affan lalu mendudukannya pada sebuah bantal di sisinya. Utsman berkata “Apa keperluanmu ?” Lalu lelaki itu menyebutkan apa yang ia butuhkan dan Utsman memenuhi kebutuhannya seraya berkata “ Aku tidak ingat keperluanmu hingga tadi. Apapun yang engkau butuhkan, sebutkan saja !” tambahnya. Lalu lelaki itu pergi, bertemu Utsman bin Hunaif dan berkata kepadanya “semoga Allah membalas kebaikanmu ! Ia tidak memperhatikan kebutuhanku atau pun memperdulikannya sampai engkau berbicara padanya”. Utsman bin Hunaif menjawab “ Demi Allah aku tidak berbicara padanya tetapi dulu aku pernah melihat seorang lelaki buta menemui Rasulullah saww dan mengeluhkan kebutaannya. Nabi Muhammad saww berkata “ Tidakkah engkau dapat bertahan dengan keadaanmu ?” dan lelaki itu menjawab “wahai Rasulullah, aku tidak memiliki siapapun untuk menjadi penuntun jalanku dan ini sangat menyulitkanku.” Rasulullah bersabda padanya “ Pergilah berwudu dan lakukan sholat dua rakaat. Lalu berdo’alah dan memohon permintaanmu!” Ibnu Hunaif melanjutkan. “Demi Allah, kami pergi dan belum sempat berbicara lama ketika lelaki itu kembali seolah – olah belum pernah terjadi sesuatu apapun kepadanya. “ (Kebutaannya sembuh dan melihat lagi).
Dalam Fada’il ash-Shahabah, yang disusun oleh Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal 662, Hadis nmr 1129 disebutkan bahwa menjelang kematiannya, Abdullah bin Abbas berkata “ Ya. Allah, aku mendekatkan diri kepada-Mu dengan berwilayah kepada Ali bin Abi Thalib. “
Kita tahu bahwa Ibnu Abbas wafat pada tahun 68 H / 687 M. dua puluh delapan tahun setelah Imam Ali wafat. Apabila bertawassul kepada orang yang sudah meninggal itu dianggap perbuatan syirik. Maka Ibnu Abbas tentunya tidak akan berkata demikian dan Ahmad bin Hanbal tidak akan meriwayatkan peristiwa itu.
Nah, dari berbagai penjelasan di atas, dapatlah kita simpulkan pernyataan – pernyataan yang menyebutkan bahwa Tawassul adalah amalan bid’ah dan tergolong syirik, justru merupakan pernyataan yang lemah dan tidak berlandaskan nash (Ayat Al Qur’an maupun Hadits Nabi saww).
Akhirnya, saya tutup catatan ini dengan keterangan Ibnu Hajar Asqalani dalam kitab As Shawai’qul Muhriqah hal.178 yang mana beliau mengutip beberapa bait syair Imam Syafi’i, di antaranya adalah :
“Keluarga Nabi, mereka wasilahku kepada Allah,
  Aku berharap karena mereka, akan kuterima kelak,
  Catatan amalku, dengan tangan kanan.”

Tidak ada komentar: