Pencarian Isi Blogg Ini

Jumat, 01 Februari 2013

Kaum Syi’ah Indonesia resah dengan pihak yang mencemarkan nama baik KH Abdurahman Wahid

Hassan Alay.drus, Ketua DPP Ahlul Bait Indonesia sangat menyesalkan pihak pihak yang mencemarkan nama baik Gus Dur, Gus Dur lah yang memberi izin pendirian IJABI sehingga harus dihormati kaum syi’ah
Ormas Ahlul Bait Indonesia Kecam Penghina Nabi

Kaum Syi’ah Indonesia resah dengan pihak yang mencemarkan nama baik KH Abdurahman Wahid

Tak diragukan lagi bahwa setiap manusia dianugerahi hati yang dipenuhi oleh cinta kasih; ia akan iba melihat penderitaan orang lain, ia akan meneteskan air mata melihat korban bencana, ia akan berempati pada yang ditindas (madhlum) dan tentunya murka kepada yang menindas (dholim). Itu sifat dasar setiap manusia yang merupakan salah satu anugerah terbesar Tuhan.Namun, tak semua manusia punya keberanian. Bahkan, mungkin sangat sedikit yang berani. Sehingga, anugerah berupa perasaan yang lembut dan penuh cinta kasih itu sering kali hanya ada di hati dan tak teraktualisasi menjadi tindakan. Kita berempati pada yang ditindas dan murka kepada yang menindas, tapi kita diam melihat fenomena itu sering terjadi di negeri ini. Sehingga, kondisi ‘pun tak berubah.
Nah, keberanian itulah yang dimiliki oleh seorang almarhum Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Itulah yang diungkapkan oleh Jaya Suprana dalam diskusi bertajuk “Gus Dur & Kebudayaan” yang diselenggarakan di Wahid Institute pada Jum’at, 3 Agustus 2012.
Jaya Suprana memang salah satu tokoh yang paling dekat dengan Gus Dur. Bahkan, dalam diskusi itu, dengan nada bercanda, ia mengungkapkan bahwa jika dirinya lahir setelah Gus Dur wafat, pastilah dirinya diduga reinkarnasinya Gus Dur. Sebuah guyonan yang kemudian disambut tawa dari hadirin yang memenuhi ruang diskusi di Wahid Institute.
Selain Jaya Suprana, Mohamad Sobary yang akrab disapa Kang Sobary merupakan tokoh lain yang juga punya kedekatan dengan Gus Dur. Ia menulis sebuah buku khusus tentang Gus Dur, judulnya “Jejak Guru Bangsa”. Nah, dalam diskusi itu, ia juga dihadirkan sebagai pembicara. Ia mengungkapkan bahwa salah satu cirri khas dari Gus Dur yang paling diingatnya yakni bagaimana komitmen kuatnya untuk menjaga tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu misalnya, kata Kang Sobary, ia yang walau telah jadi Presiden Indonesia saat itu masih aktif mendatangi kiai-kiai NU. Dan, ia tak memilih-milih kiai yang hendak didatanginya. Ia berupaya mendatangi semuanya, dari yang kiai-kiai senior sampai kiai-kiai kampung.   
Karenanya, Gus Dur sangat mengerti segala sesuatu tentang tradisi dan kiai NU. Misalnya, seperti diungkapkan Sobary, Gus Dur pernah bercerita tentang mengapa para kiai dan wali cenderung tak mau jika dimintai doa oleh seseorang. Sebab, kiai dan para wali itu tak mau melecehkan ‘kecerdasan’ Allah. Mereka tau, sadar dan benar-benar yakin bahwa Allah itu Maha Tahu dan Maha Memberi walau tak kita minta. Karenanya, mereka selalu menyarankan agar siapa saja yang meminta doa itu agar konsisten saja di jalan Allah dan sepenuhnya berserah pada-Nya. Pasti Allah akan memberi apa yang diinginkannya.
Akhirnya, Gus Dur telah wafat. Namun, nama dan pemikirannya terus hidup di tengah-tengah kita. Melalui dokumentasi tentangnya, lembaganya, karya-karyanya dan tentunya diskusi-diskusi tentangnya seperti yang diselenggarakan oleh Wahid Institute ini. Dan kita terus mendapat pelajaran akan kearifannya

Gusdur berkata: “NU itu Syiah Minus Imamah”
.
Sebagian sikap dan pemikiran Gus Dur mendapat apresiasi dari beberapa ulama Syiah Indonesia.
.
“Gus Dur selalu menganjurkan kebaikan kepada kelompok minoritas, termasuk kita yang berpegang pada madzhab Ahlul Bait, Syiah. Kita merasa dibela Gus Dur dari beberapa kelompok yang akan membubarkan Syiah. Gus Dur juga selalu mengatakan bahwa Syiah itu adalah NU plus imamah dan NU itu adalah Syiah minus imamah. Bahkan beliau orang yang pertama di Indonesia yang bukan Syiah yang menggelar peringatan Asyura di Ciganjur,” kata salah seorang ulama Syiah Indonesia, Hasan Dalil
Namun satu hal yang menarik dari Gus Dur, kata Hasan Dalil, tidak pernah marah dan tersinggung jika dikritik. Hasan Dalil pun punya kesan pribadi dengan Gus Dur.

“Kita ulama Syiah datang pada beliau. Saya sebutkan pada beliau di kalangan atas elit dan intelektual, sudah memahami madzhab Ahlul Bait dan menghormati Ayatullah Imam Khomaini. Namun dikalangan sebagian NU di bawah ada yang masih berlaku keras pada kelompok Syiah. Saya contohkan peristiwa di Bangil. Ternyata Gus Dur langsung menelpon ulama NU Bangil dan memerintahkan untuk menjaga kelompok syiah dan mencegah segala bentuk kekerasan. Ini luar biasa,” kata Hasan Dalil.
Kondisi Terakhir Pengungsi Syiah Sampang Januari 2013

Kondisi Terakhir Pengungsi Syiah Sampang Januari 2013

Kondisi pengungsi warga Syiah Sampang di Gedung Olahraga (GOR) Sampang sangat memprihatinkan. Pemerintah Kabupaten Sampang menghentikan secara total pasokan bahan mentah makanan untuk pengungsi sejak akhir Desember 2012. Dan tidak lagi mendapatkan penjagaan dari pihak Kepolisian sejak ditarik 1 Januari 2013. 
pada peristiwa penyerangan terhadap warga Syiah Sampang I (29 Desember 2011) dan II (26 Agustus 2012) telah terjadi pengrusakan dan pembakaran terhadap properti komunitas Syiah Karanggayam dan Blu’uran Sampang di 49 titik. Sebagaimana telah banyak diberitakan, akibat penyerangan yang kedua (Minggu, 26 Agustus 2012) jatuh korban 1 meninggal (M. Hasyim alias Hamamah), 1 kritis (M. Thohir), puluhan luka-luka dari warga Syiah. Mereka pun sampai kini mengungsi di GOR Sampang.
Berikut ini situasi terkini pengungsian para korban penyerangan terhadap Syiah Sampang:
Dewasa Laki laki           : 56
Dewasa Perempuan       : 61
Anak Laki laki               : 11
Anak Perempuan           : 8
Balita                             : 29
Total                            : 165 0rang
Kondisi GOR
  1. Penjagaan GOR pihak kepolisian yang selama ini dilakukan oleh Sabhara Polda Jatim sudah ditarik sejak 1 Januari 2013.
  2. Segala aktivitas belajar sekolah darurat anak-anak pengungsian berhenti pasca ujian akhir semester akhir tahun lalu. Mereka kehilangan guru. Beberapa relawan, sekarang, terpaksa menjadi guru dadakan.
  3. Pemerintah Kabupaten Sampang menghentikan secara total pasokan bahan mentah makanan untuk pengungsi sejak akhir Desember 2012.
  4. Keadaan kesehatan pengungsi buruk, banyak anak balita terserang penyakit pergantian musim.
  5. Fasilitas pengobatan gratis sudah berhenti sejak 26 Desember 2012.
Jumlah penganut Syiah Ds. Karanggayam dan Blu’uran Sampang kurang lebih 100 KK atau sekitar 600 jiwa. Jumlah rata-rata bangunan dalam 1 pemilik properti terdiri dari 4 bangunan yaitu rumah, mushola,  dapur dan kandang. Total Jumlah kerugian kurang lebih Rp. 700jt.
Untuk kerugian peristiwa Sampang I: pembakaran terhadap 3 lokasi kurang lebih Rp. 500jt.
Sementara  itu, properti yang tidak terbakar berjumlah 32 titik.
Kurang lebih ada 150 jiwa yang tidak mengungsi.
Bagi yang hendak menyalurkan bantuan bisa menghubungi ABI Pusat (0217946407) atau YLBHU (0217986562)

Judul: Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Warisan Pemikiran KH Abdurrahman Wahid

Penulis: Abdurrahman Wahid
Pengantar: Jakob Oetama
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Terbit: Januari 2010
Tebal: xviii+182, 15 x 23 cm
ISBN: 978-979-709-459-1
Peresensi: Mahbib Khoiron
Bahwa Gus Dur terkenal sebagai penebar kontroversi tidak bisa dipungkiri lagi. Namun apakah ia inkonsisten dalam tindakan dan ide-idenya, tentu harus didudukkan kembali. Greg Barton dalam sebuah tulisannya memuji Gus Dur sebagai figur terbaik yang senantiasa konsisten dalam pikiran-pikrannya. Kita lantas mafhum bahwa dalam diri seorang tokoh bisa saja menyimpan karakter ganda sekaligus: satu sisi ia konsisten tapi di sisi lain ia kontroversial.
Menelusuri alur pemikiran Gus Dur  merupakan kerja ilmiah tersendiri. Pasalnya, tokoh yang satu ini selain melintas, bermain, dan terlibat langsung dalam pelbagai diskursus, kini ia telah menjadi sebuah diskursus itu sendiri. Banyak jalan yang bisa dipakai untuk memahami kompleksitas tingkah laku politik dan gaya unik aktifitas Gus Dur lainnya. Di samping menengok historisitas perjalanan hidup Gus Dur, hal paling lumrah dan jamak dilakukan peneliti adalah membaca akar epistemologis dan jalan pikirannya melalui uraian-uraian tertulis yang tersebar dalam bermacam bentuk tulisan. Mengingat, Gus Dur sendiri terkenal sebagai penulis produktif bercakupan luas yang turut menyesaki ruang media nasional.
Pada titik ini, ikhtiar Kompas menerbitkan kembali kumpulan tulisan bertajuk “Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman” karya guru bangsa ini patut mendapat perhatian. Gus Dur dalam buku ini secara apik melakukan analisa wacana atas isu-isu agama, politik, sosial, demokrasi dan kepemimpinan yang dikontekstualisasikan dengan perkembangan kondisi di Tanah Air. Peran ini memang menjadi bagian tak terlepaskan dari dirinya. Kedudukannya yang terpandang, meniscayakannya untuk senantiasa mengangkat isu, berkomentar, mengkritisi bahkan menawarkan solusi atas sejumlah problem yang tengah dijalani.
Sebagaimana dalam epilog buku ini, salah satu kecerdasan Gus Dur adalah keinginannya untuk selalu mencari dataran-dataran baru yang bisa menjadi titik temu bagi berbagai perbedaan. Tetapi titik temu yang dimaksud bukanlah sesuatu yang final. Ia hanya sebagai sebuah tempat untuk titik tolak yang darinya dapat diupayakan jawaban-jawaban baru yang lebih kreatif.
Menaggapi pertanyaan publik tentang kemungkinan seorang nonmuslim menjadi presiden di Indonesia, Gus Dur dengan mantap menjawab bahwa hal demikian bisa saja terjadi, jika mengacu pada bunyi Undang-Undang Dasar 1945 (hlm. 73).
Gus Dur mengembalikan apa yang secara instrinsik terkandung dalam konstitusi ini dengan penuh kesadaran. Meskipun diyakini akan menimbulkan reaksi keras dan tudingan-tudingan miring terhadapnya. Hal ini tentu berbeda dengan tawaran jawaban para pemikir dan elite Islam pada umumnya, yang cenderung menggunakan pendekatan formalistik sehingga berimbas pada peminggiran golongan tertentu di negerinya sendiri. Dengan menghindari sikap yang disebutnya sebagai ‘pandangan picik’, Gus Dur lebih nyaman menggunakan pendekatan konstitusional. Menurutnya, yang terpenting adalah “kenyataan tertulis yang pada hakekatnya merupakan cermin dari komitmen bersama yang telah disepakati.” (hlm 77).
Term “komitmen bersama” di sini menjadi kata kunci bagi peleraian dua ketegangan antara kecenderungan normatif dari agama dan kebutuhan riil dalam kehidupan bernegara. Betapapun juga negara ini dalam kesejarahannya didirikan atas semangat pengorbanan bersama yang melintasi batasan ras, suku, dan agama. Pilihan untuk melandaskan diri pada asas Negara bernama UUD akan menjauhkan bangsa ini dari kesulitan-kesulitan jangka panjang. Bagi Gus Dur, tak perlu bersikap naif dengan menyembunyikan kepentingan politik golongan tertentu melalui rekayasa tafsir atas undang-undang. Bukankah bervisi jauh ke depan mewujudkan cita-cita kebaikan bersama lebih bermakna daripada bersikap subyektif terhadap kenyataan tertulis hanya karena mengikuti kepentingan ideologis pribadi yang bersifat sesaat?
Pelajaran berharga lain kita temukan pula saat Gus Dur membicarakan soal hubungan antarumat beragama. Kemampuan masyarakat heterogen yang terdiri dari aneka unsur etinis, bahasa ibu, budaya daerah dan agama untuk hidup berdampingan tanpa saling mengganggu seringkali memuaskan banyak orang. Rasa puas ini termasuk kewajaran sikap dari kenyataan betapa langkanya kedamaian yang terbentuk di tengah masyarakat yang sangat majemuk seperti bangsa kita ini. Namun, Gus Dur akan mempersoalkan rasa puas ini, kalau memang yang dikehendaki adalah suasana kebersamaan yang berkesudahan sampai di situ saja.
Gus Dur membuat pemilahan istilah yang menarik tentang hubungan antarumat beragama (hlm 14-18). Tentu berbeda antara saling menghormati dan saling memahami. Pada poin yang pertama ini masyarakat hidup bertetangga dengan baik yang hanya disifati oleh tata krama dan saling tenggang rasa secara lahiriah belaka. Pola hubungan “harmonis” ini tidak memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan politik, ekonomi dan budaya. Kerukunan berada dalam kondisi rapuh karena sesungguhnya yang terjadi bukanlah suasana optimal dari kesalingpengertian, melainkan sekadar sangat kurangnya kesalahpahaman.
Bentuk ideal dari suasana kehidupan pluralistik adalah saling pengertian atau memahami. Dalam kesalingpengertian tersimpan rasa senasib dan sepenanggungan. Rasa yang kemudian lahir adalah persaudaraan yang kukuh, karena ia tumbuh bukan atas kepentingan supaya tidak terganggu belaka, melainkan atas dasar saling memiliki (sense of belonging). Dari sini saling mengormati akan terbentuk dengan sendirinya dalam kualitas yang utuh. Nah, Gus Dur menilai, masalah pokok dari hubungan antarumat beragama terletak pada kurangnya pengembangan saling pengertian ini yang semestinya dilakukan secara tulus dan berkelanjutan.
Sekelumit cara pandang ini menunjuk kepada konsistensinya memelihara kehidupan agar tetap manusiawi, yakni lepas dari kepicikan dan kepentingan ideologis apapun. Sebagaimana pula ulasannya seputar kepemimpinan politik. Presiden keempat republik ini menceritakan gaya leadership para pemimpin teladan yang banyak dikagumi rakyatnya, misalnya Gandhi dengan personal leader-nya, atau pendiri imperium Meiji Ieyazu Tokugawa dengan capaian-capaian prestisiusnya. Tak hanya gaya khas yang mereka tampilkan, tapi juga pola kepemimpinan yang mampu membawa hasil baik tanpa terlalu banyak menumpahkan darah akibat kekerasan (hlm 47-53).
Selaku cendikiawan, negarawan, pemimpin ormas, dan kiai, kontribusi Gus Dur dalam hal pemikiran cukuplah banyak. Pembicaraannya mengenai beragam isu bukan saja menujukan perhatiannya terhadap realitas yang dihadapi, melainkan juga menyediakan lahan baru bagi pencarian jawaban-jawaban alternatif. Kesan bunga rampai dan keterikatan sejarah spesifik dalam tulisan-tulisannya memang tak bisa dielakkan. Tapi itu bukan berarti relevansi dari gagasan-gagasannya lantas hilang dan terbuang. Bukankah pencarian tak berkesudahan melalui pertimbangan banyak unsur pemikiran adalah sikap yang bijak bagi bangsa yang sedang berproses ini?

Kaum Syi’ah Indonesia resah dengan pihak yang mencemarkan nama baik KH Abdurahman Wahid. Hal ini diikuti juga oleh PMII, dalam rangka haul ke-3 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jatim bidang kaderisasi bersama Pengurus Cabang PMII Surabaya menggelar diskusi dengan tema “Pelurusan Sejarah Pelengseran Gus Dur”.
Tokoh yang digandrungi para pemuda dipelesetkan sejarah hidupnya oleh pihak-pihak yang tidak menyukainya. Karena itu para aktivis PMII Jatim resah dengan pihak yang mencemarkan nama baik KH Abdurahman Wahid.
“Banyak kasus yang mengarah kepada upaya pencemaran nama baik Gus Dur baik yang dilakukan oleh tokoh publik dan dalam buku-buku sejarah,” ungkap Salim Asyhuri sekretaris II PKC PMII Jatim
Pada hakikatnya Gus Dur dilegserkan dari kursi kepresidenan hanyalah desain politik dan tidak mempunyai legitimasi hukum. Karena dugaan yang dialamatkan pada beliau tidak sedikitpun terbukti.
“Sejatinya Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan murni karena desain politik. Sidang istimewa yang dilakukan oleh MPR tidak punya dasar hukum. Karen Dugaan Gus Dur terlibat dalam kasus Bolugate dan Brunaigate tidak terbukti dengan diterbitkannya SKPP (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan) oleh kejaksaan,” terang ketua I PKC PMII Jatim Hasanudun Tiro.
Diskusi yang dihelat di Warung “Ceker Pedas” di kawasan Jatim Expo pada Jum’at (11/1) tersebut berkesimpulan dan menyatakan sikap tegas terkait beberapa kasus yang mencemarkan nama baik Presiden dari kalangan Pesantren tersebut.
PKC PMII Jatim dan PC PMII Surabaya mendorong dan menyatakan sikap tegas. Pertama, bahwa sidang istimewa MPR 1 Agustus 2001 Inkonstitusional dan kami mendorong agar ada Judicial Review.
Kedua: mendorong agar tidak ada upaya pencemaran nama baik Gus Dur, baik dari komentar pejabat publik maupun upaya pencemaran dari pertanyaan akademik untuk siswa dan mahasiswa dalam pembelajaran.

IJABI: Gus Dur itu Sebenarnya Syiah

Sabtu, 31 Desember 2011 18:47 wib
JAKARTA -
Peringatan Asyura atau memperingati wafatnya cucu nabi Muhammad SAW, Hasan dan Husain di Indonesia berlokasi di kediaman  Abdurahman Wahid atau Gus Dur.
Hal tersebut diutarakan oleh, Ketua Badan Hukum dan HAM Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) ,  Maheswara Prabandono. Dikatakan dia, Gus Dur juga sebenarnya adalah Syiah.
“Gus Dur sebenarnya Syiah. Kami merasa dari apa yang dia praktekan dan cara dia membina hubungan dengan Iran,” kata Maheswara usai  jumpa pers di kantor pusat IJABI di Jakarta, Sabtu (31/12/2011).
Dijelaskan dia, Gusdur sebagai cucu KH Wahid Hasyim secara tradisi dan ibadah, NU sangat dekat dengan ajaran Syiah, karena yang dipraktekan NU cara Syiah.  “Misalnya mengambil berkah atau tabaruk ke ziarah kubur ke makam wali. Itu aslinya ajaran Syiah,” pungkasnya.
Organisasi pengikut aliran Syiah di Indonesia ini membandingkan jaminan keamanan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan masa kepemimpinan Abdurahman Wahid alias Gus Dur saat menjadi Presiden RI keempat.
Menurut Ketua Dewan Syura IJABI, Jalaludin Rakhmat mengatakan, semasa pemerintahan Gus Dur, kelompok Sunni dan Syiah tidak pernah terlibat konflik.
“Pada jaman Gus Dur, dia  menetapkan A, maka seluruh warga Nahdlatul Ulama mengikutinya. Itu yang tidak terjadi pada pimpinan NU sekarang,” ujarnya.

Tidak ada komentar: