Hassan Alay.drus, Ketua DPP Ahlul Bait Indonesia sangat menyesalkan pihak pihak yang mencemarkan nama baik Gus Dur, Gus Dur lah yang memberi izin pendirian IJABI sehingga harus dihormati kaum syi’ah |

Kaum Syi’ah Indonesia resah dengan pihak yang mencemarkan nama baik KH Abdurahman Wahid
Tak diragukan lagi bahwa setiap manusia dianugerahi hati yang
dipenuhi oleh cinta kasih; ia akan iba melihat penderitaan orang lain,
ia akan meneteskan air mata melihat korban bencana, ia akan berempati
pada yang ditindas (madhlum) dan tentunya murka kepada yang menindas (dholim).
Itu sifat dasar setiap manusia yang merupakan salah satu anugerah
terbesar Tuhan.Namun, tak semua manusia punya keberanian. Bahkan,
mungkin sangat sedikit yang berani. Sehingga, anugerah berupa perasaan
yang lembut dan penuh cinta kasih itu sering kali hanya ada di hati dan
tak teraktualisasi menjadi tindakan. Kita berempati pada yang ditindas dan
murka kepada yang menindas, tapi kita diam melihat fenomena itu sering
terjadi di negeri ini. Sehingga, kondisi ‘pun tak berubah.
Nah, keberanian itulah yang dimiliki oleh seorang almarhum Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Itulah yang diungkapkan oleh Jaya Suprana dalam diskusi bertajuk “Gus Dur & Kebudayaan” yang diselenggarakan di Wahid Institute pada Jum’at, 3 Agustus 2012.
Jaya Suprana memang salah satu tokoh yang paling dekat dengan Gus
Dur. Bahkan, dalam diskusi itu, dengan nada bercanda, ia mengungkapkan
bahwa jika dirinya lahir setelah Gus Dur wafat, pastilah dirinya diduga
reinkarnasinya Gus Dur. Sebuah guyonan yang kemudian disambut tawa dari hadirin yang memenuhi ruang diskusi di Wahid Institute.
Selain Jaya Suprana, Mohamad Sobary yang akrab disapa Kang Sobary
merupakan tokoh lain yang juga punya kedekatan dengan Gus Dur. Ia
menulis sebuah buku khusus tentang Gus Dur, judulnya “Jejak Guru Bangsa”. Nah,
dalam diskusi itu, ia juga dihadirkan sebagai pembicara. Ia
mengungkapkan bahwa salah satu cirri khas dari Gus Dur yang paling
diingatnya yakni bagaimana komitmen kuatnya untuk menjaga tradisi
Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu misalnya, kata Kang Sobary, ia yang
walau telah jadi Presiden Indonesia saat itu masih aktif mendatangi
kiai-kiai NU. Dan, ia tak memilih-milih kiai yang hendak didatanginya.
Ia berupaya mendatangi semuanya, dari yang kiai-kiai senior sampai
kiai-kiai kampung.
Karenanya, Gus Dur sangat mengerti segala sesuatu tentang tradisi dan
kiai NU. Misalnya, seperti diungkapkan Sobary, Gus Dur pernah bercerita
tentang mengapa para kiai dan wali cenderung tak mau jika dimintai doa
oleh seseorang. Sebab, kiai dan para wali itu tak mau melecehkan
‘kecerdasan’ Allah. Mereka tau, sadar dan benar-benar yakin bahwa Allah
itu Maha Tahu dan Maha Memberi walau tak kita minta. Karenanya, mereka
selalu menyarankan agar siapa saja yang meminta doa itu agar konsisten
saja di jalan Allah dan sepenuhnya berserah pada-Nya. Pasti Allah akan
memberi apa yang diinginkannya.
Akhirnya, Gus Dur telah wafat. Namun, nama dan pemikirannya terus
hidup di tengah-tengah kita. Melalui dokumentasi tentangnya, lembaganya,
karya-karyanya dan tentunya diskusi-diskusi tentangnya seperti yang
diselenggarakan oleh Wahid Institute ini. Dan kita terus mendapat
pelajaran akan kearifannya
Gusdur berkata: “NU itu Syiah Minus Imamah”
.
Sebagian sikap dan pemikiran Gus Dur mendapat apresiasi dari beberapa ulama Syiah Indonesia.
.
“Gus Dur selalu menganjurkan kebaikan kepada kelompok minoritas, termasuk kita yang berpegang pada madzhab Ahlul Bait, Syiah. Kita merasa dibela Gus Dur dari beberapa kelompok yang akan membubarkan Syiah. Gus Dur juga selalu mengatakan bahwa Syiah itu adalah NU plus imamah dan NU itu adalah Syiah minus imamah. Bahkan beliau orang yang pertama di Indonesia yang bukan Syiah yang menggelar peringatan Asyura di Ciganjur,” kata salah seorang ulama Syiah Indonesia, Hasan Dalil
Sebagian sikap dan pemikiran Gus Dur mendapat apresiasi dari beberapa ulama Syiah Indonesia.
.
“Gus Dur selalu menganjurkan kebaikan kepada kelompok minoritas, termasuk kita yang berpegang pada madzhab Ahlul Bait, Syiah. Kita merasa dibela Gus Dur dari beberapa kelompok yang akan membubarkan Syiah. Gus Dur juga selalu mengatakan bahwa Syiah itu adalah NU plus imamah dan NU itu adalah Syiah minus imamah. Bahkan beliau orang yang pertama di Indonesia yang bukan Syiah yang menggelar peringatan Asyura di Ciganjur,” kata salah seorang ulama Syiah Indonesia, Hasan Dalil
Namun satu hal yang menarik dari Gus Dur, kata Hasan Dalil, tidak
pernah marah dan tersinggung jika dikritik. Hasan Dalil pun punya kesan
pribadi dengan Gus Dur.
“Kita ulama Syiah datang pada beliau. Saya sebutkan pada beliau di kalangan atas elit dan intelektual, sudah memahami madzhab Ahlul Bait dan menghormati Ayatullah Imam Khomaini. Namun dikalangan sebagian NU di bawah ada yang masih berlaku keras pada kelompok Syiah. Saya contohkan peristiwa di Bangil. Ternyata Gus Dur langsung menelpon ulama NU Bangil dan memerintahkan untuk menjaga kelompok syiah dan mencegah segala bentuk kekerasan. Ini luar biasa,” kata Hasan Dalil.
“Kita ulama Syiah datang pada beliau. Saya sebutkan pada beliau di kalangan atas elit dan intelektual, sudah memahami madzhab Ahlul Bait dan menghormati Ayatullah Imam Khomaini. Namun dikalangan sebagian NU di bawah ada yang masih berlaku keras pada kelompok Syiah. Saya contohkan peristiwa di Bangil. Ternyata Gus Dur langsung menelpon ulama NU Bangil dan memerintahkan untuk menjaga kelompok syiah dan mencegah segala bentuk kekerasan. Ini luar biasa,” kata Hasan Dalil.

Kondisi Terakhir Pengungsi Syiah Sampang Januari 2013
Kondisi pengungsi warga Syiah Sampang di Gedung Olahraga (GOR)
Sampang sangat memprihatinkan. Pemerintah Kabupaten Sampang
menghentikan secara total pasokan bahan mentah makanan untuk pengungsi
sejak akhir Desember 2012. Dan tidak lagi mendapatkan penjagaan dari
pihak Kepolisian sejak ditarik 1 Januari 2013.
pada peristiwa penyerangan terhadap warga Syiah Sampang I (29 Desember 2011) dan II (26 Agustus 2012) telah terjadi pengrusakan dan pembakaran terhadap properti komunitas Syiah Karanggayam dan Blu’uran Sampang di 49 titik. Sebagaimana telah banyak diberitakan, akibat penyerangan yang kedua (Minggu, 26 Agustus 2012) jatuh korban 1 meninggal (M. Hasyim alias Hamamah), 1 kritis (M. Thohir), puluhan luka-luka dari warga Syiah. Mereka pun sampai kini mengungsi di GOR Sampang.
pada peristiwa penyerangan terhadap warga Syiah Sampang I (29 Desember 2011) dan II (26 Agustus 2012) telah terjadi pengrusakan dan pembakaran terhadap properti komunitas Syiah Karanggayam dan Blu’uran Sampang di 49 titik. Sebagaimana telah banyak diberitakan, akibat penyerangan yang kedua (Minggu, 26 Agustus 2012) jatuh korban 1 meninggal (M. Hasyim alias Hamamah), 1 kritis (M. Thohir), puluhan luka-luka dari warga Syiah. Mereka pun sampai kini mengungsi di GOR Sampang.
Berikut ini situasi terkini pengungsian para korban penyerangan terhadap Syiah Sampang:
Dewasa Laki laki : 56
Dewasa Perempuan : 61
Anak Laki laki : 11
Anak Perempuan : 8
Balita : 29
Total : 165 0rang
Kondisi GOR
- Penjagaan GOR pihak kepolisian yang selama ini dilakukan oleh Sabhara Polda Jatim sudah ditarik sejak 1 Januari 2013.
- Segala aktivitas belajar sekolah darurat anak-anak pengungsian berhenti pasca ujian akhir semester akhir tahun lalu. Mereka kehilangan guru. Beberapa relawan, sekarang, terpaksa menjadi guru dadakan.
- Pemerintah Kabupaten Sampang menghentikan secara total pasokan bahan mentah makanan untuk pengungsi sejak akhir Desember 2012.
- Keadaan kesehatan pengungsi buruk, banyak anak balita terserang penyakit pergantian musim.
- Fasilitas pengobatan gratis sudah berhenti sejak 26 Desember 2012.
Jumlah penganut Syiah Ds. Karanggayam dan Blu’uran Sampang kurang
lebih 100 KK atau sekitar 600 jiwa. Jumlah rata-rata bangunan dalam 1
pemilik properti terdiri dari 4 bangunan yaitu rumah, mushola, dapur
dan kandang. Total Jumlah kerugian kurang lebih Rp. 700jt.
Untuk kerugian peristiwa Sampang I: pembakaran terhadap 3 lokasi kurang lebih Rp. 500jt.
Sementara itu, properti yang tidak terbakar berjumlah 32 titik.
Kurang lebih ada 150 jiwa yang tidak mengungsi.
Bagi yang hendak menyalurkan bantuan bisa menghubungi ABI Pusat (0217946407) atau YLBHU (0217986562)


Judul: Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Warisan Pemikiran KH Abdurrahman Wahid
Penulis: Abdurrahman Wahid
Pengantar: Jakob Oetama
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Terbit: Januari 2010
Tebal: xviii+182, 15 x 23 cm
ISBN: 978-979-709-459-1
Peresensi: Mahbib Khoiron
Pengantar: Jakob Oetama
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Terbit: Januari 2010
Tebal: xviii+182, 15 x 23 cm
ISBN: 978-979-709-459-1
Peresensi: Mahbib Khoiron
Bahwa Gus Dur terkenal sebagai penebar kontroversi tidak bisa
dipungkiri lagi. Namun apakah ia inkonsisten dalam tindakan dan
ide-idenya, tentu harus didudukkan kembali. Greg Barton dalam sebuah
tulisannya memuji Gus Dur sebagai figur terbaik yang senantiasa
konsisten dalam pikiran-pikrannya. Kita lantas mafhum bahwa dalam diri
seorang tokoh bisa saja menyimpan karakter ganda sekaligus: satu sisi ia
konsisten tapi di sisi lain ia kontroversial.
Menelusuri alur pemikiran Gus Dur merupakan kerja ilmiah tersendiri.
Pasalnya, tokoh yang satu ini selain melintas, bermain, dan terlibat
langsung dalam pelbagai diskursus, kini ia telah menjadi sebuah
diskursus itu sendiri. Banyak jalan yang bisa dipakai untuk memahami
kompleksitas tingkah laku politik dan gaya unik aktifitas Gus Dur
lainnya. Di samping menengok historisitas perjalanan hidup Gus Dur, hal
paling lumrah dan jamak dilakukan peneliti adalah membaca akar
epistemologis dan jalan pikirannya melalui uraian-uraian tertulis yang
tersebar dalam bermacam bentuk tulisan. Mengingat, Gus Dur sendiri
terkenal sebagai penulis produktif bercakupan luas yang turut menyesaki
ruang media nasional.
Pada titik ini, ikhtiar Kompas menerbitkan kembali kumpulan tulisan bertajuk “Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman” karya
guru bangsa ini patut mendapat perhatian. Gus Dur dalam buku ini secara
apik melakukan analisa wacana atas isu-isu agama, politik, sosial,
demokrasi dan kepemimpinan yang dikontekstualisasikan dengan
perkembangan kondisi di Tanah Air. Peran ini memang menjadi bagian tak
terlepaskan dari dirinya. Kedudukannya yang terpandang, meniscayakannya
untuk senantiasa mengangkat isu, berkomentar, mengkritisi bahkan
menawarkan solusi atas sejumlah problem yang tengah dijalani.
Sebagaimana dalam epilog buku ini, salah satu kecerdasan Gus Dur
adalah keinginannya untuk selalu mencari dataran-dataran baru yang bisa
menjadi titik temu bagi berbagai perbedaan. Tetapi titik temu yang
dimaksud bukanlah sesuatu yang final. Ia hanya sebagai sebuah tempat
untuk titik tolak yang darinya dapat diupayakan jawaban-jawaban baru
yang lebih kreatif.
Menaggapi pertanyaan publik tentang kemungkinan seorang nonmuslim
menjadi presiden di Indonesia, Gus Dur dengan mantap menjawab bahwa hal
demikian bisa saja terjadi, jika mengacu pada bunyi Undang-Undang Dasar
1945 (hlm. 73).
Gus Dur mengembalikan apa yang secara instrinsik terkandung dalam
konstitusi ini dengan penuh kesadaran. Meskipun diyakini akan
menimbulkan reaksi keras dan tudingan-tudingan miring terhadapnya. Hal
ini tentu berbeda dengan tawaran jawaban para pemikir dan elite Islam
pada umumnya, yang cenderung menggunakan pendekatan formalistik sehingga
berimbas pada peminggiran golongan tertentu di negerinya sendiri.
Dengan menghindari sikap yang disebutnya sebagai ‘pandangan picik’, Gus
Dur lebih nyaman menggunakan pendekatan konstitusional. Menurutnya, yang
terpenting adalah “kenyataan tertulis yang pada hakekatnya merupakan
cermin dari komitmen bersama yang telah disepakati.” (hlm 77).
Term “komitmen bersama” di sini menjadi kata kunci bagi peleraian dua
ketegangan antara kecenderungan normatif dari agama dan kebutuhan riil
dalam kehidupan bernegara. Betapapun juga negara ini dalam
kesejarahannya didirikan atas semangat pengorbanan bersama yang
melintasi batasan ras, suku, dan agama. Pilihan untuk melandaskan diri
pada asas Negara bernama UUD akan menjauhkan bangsa ini dari
kesulitan-kesulitan jangka panjang. Bagi Gus Dur, tak perlu bersikap
naif dengan menyembunyikan kepentingan politik golongan tertentu melalui
rekayasa tafsir atas undang-undang. Bukankah bervisi jauh ke depan
mewujudkan cita-cita kebaikan bersama lebih bermakna daripada bersikap
subyektif terhadap kenyataan tertulis hanya karena mengikuti kepentingan
ideologis pribadi yang bersifat sesaat?
Pelajaran berharga lain kita temukan pula saat Gus Dur membicarakan
soal hubungan antarumat beragama. Kemampuan masyarakat heterogen yang
terdiri dari aneka unsur etinis, bahasa ibu, budaya daerah dan agama
untuk hidup berdampingan tanpa saling mengganggu seringkali memuaskan
banyak orang. Rasa puas ini termasuk kewajaran sikap dari kenyataan
betapa langkanya kedamaian yang terbentuk di tengah masyarakat yang
sangat majemuk seperti bangsa kita ini. Namun, Gus Dur akan
mempersoalkan rasa puas ini, kalau memang yang dikehendaki adalah
suasana kebersamaan yang berkesudahan sampai di situ saja.
Gus Dur membuat pemilahan istilah yang menarik tentang hubungan
antarumat beragama (hlm 14-18). Tentu berbeda antara saling menghormati
dan saling memahami. Pada poin yang pertama ini masyarakat hidup
bertetangga dengan baik yang hanya disifati oleh tata krama dan saling
tenggang rasa secara lahiriah belaka. Pola hubungan “harmonis” ini tidak
memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang
dari perkembangan politik, ekonomi dan budaya. Kerukunan berada dalam
kondisi rapuh karena sesungguhnya yang terjadi bukanlah suasana optimal
dari kesalingpengertian, melainkan sekadar sangat kurangnya
kesalahpahaman.
Bentuk ideal dari suasana kehidupan pluralistik adalah saling
pengertian atau memahami. Dalam kesalingpengertian tersimpan rasa
senasib dan sepenanggungan. Rasa yang kemudian lahir adalah persaudaraan
yang kukuh, karena ia tumbuh bukan atas kepentingan supaya tidak
terganggu belaka, melainkan atas dasar saling memiliki (sense of
belonging). Dari sini saling mengormati akan terbentuk dengan sendirinya
dalam kualitas yang utuh. Nah, Gus Dur menilai, masalah pokok dari
hubungan antarumat beragama terletak pada kurangnya pengembangan saling
pengertian ini yang semestinya dilakukan secara tulus dan berkelanjutan.
Sekelumit cara pandang ini menunjuk kepada konsistensinya memelihara
kehidupan agar tetap manusiawi, yakni lepas dari kepicikan dan
kepentingan ideologis apapun. Sebagaimana pula ulasannya seputar
kepemimpinan politik. Presiden keempat republik ini menceritakan gaya
leadership para pemimpin teladan yang banyak dikagumi rakyatnya,
misalnya Gandhi dengan personal leader-nya, atau pendiri imperium Meiji
Ieyazu Tokugawa dengan capaian-capaian prestisiusnya. Tak hanya gaya
khas yang mereka tampilkan, tapi juga pola kepemimpinan yang mampu
membawa hasil baik tanpa terlalu banyak menumpahkan darah akibat
kekerasan (hlm 47-53).
Selaku cendikiawan, negarawan, pemimpin ormas, dan kiai, kontribusi
Gus Dur dalam hal pemikiran cukuplah banyak. Pembicaraannya mengenai
beragam isu bukan saja menujukan perhatiannya terhadap realitas yang
dihadapi, melainkan juga menyediakan lahan baru bagi pencarian
jawaban-jawaban alternatif. Kesan bunga rampai dan keterikatan sejarah
spesifik dalam tulisan-tulisannya memang tak bisa dielakkan. Tapi itu
bukan berarti relevansi dari gagasan-gagasannya lantas hilang dan
terbuang. Bukankah pencarian tak berkesudahan melalui pertimbangan
banyak unsur pemikiran adalah sikap yang bijak bagi bangsa yang sedang
berproses ini?


Kaum Syi’ah Indonesia resah dengan pihak yang mencemarkan nama baik
KH Abdurahman Wahid. Hal ini diikuti juga oleh PMII, dalam rangka haul
ke-3 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Pengurus Koordinator Cabang
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jatim bidang kaderisasi
bersama Pengurus Cabang PMII Surabaya menggelar diskusi dengan tema
“Pelurusan Sejarah Pelengseran Gus Dur”.
Tokoh yang digandrungi para pemuda dipelesetkan sejarah hidupnya oleh
pihak-pihak yang tidak menyukainya. Karena itu para aktivis PMII Jatim
resah dengan pihak yang mencemarkan nama baik KH Abdurahman Wahid.
“Banyak kasus yang mengarah kepada upaya pencemaran nama baik Gus Dur
baik yang dilakukan oleh tokoh publik dan dalam buku-buku sejarah,”
ungkap Salim Asyhuri sekretaris II PKC PMII Jatim
Pada hakikatnya Gus Dur dilegserkan dari kursi kepresidenan hanyalah
desain politik dan tidak mempunyai legitimasi hukum. Karena dugaan yang
dialamatkan pada beliau tidak sedikitpun terbukti.
“Sejatinya Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan murni karena
desain politik. Sidang istimewa yang dilakukan oleh MPR tidak punya
dasar hukum. Karen Dugaan Gus Dur terlibat dalam kasus Bolugate dan
Brunaigate tidak terbukti dengan diterbitkannya SKPP (Surat Keputusan
Penghentian Penuntutan) oleh kejaksaan,” terang ketua I PKC PMII Jatim
Hasanudun Tiro.
Diskusi yang dihelat di Warung “Ceker Pedas” di kawasan Jatim Expo
pada Jum’at (11/1) tersebut berkesimpulan dan menyatakan sikap tegas
terkait beberapa kasus yang mencemarkan nama baik Presiden dari kalangan
Pesantren tersebut.
PKC PMII Jatim dan PC PMII Surabaya mendorong dan menyatakan sikap
tegas. Pertama, bahwa sidang istimewa MPR 1 Agustus 2001
Inkonstitusional dan kami mendorong agar ada Judicial Review.
Kedua: mendorong agar tidak ada upaya pencemaran nama baik Gus Dur,
baik dari komentar pejabat publik maupun upaya pencemaran dari
pertanyaan akademik untuk siswa dan mahasiswa dalam pembelajaran.
IJABI: Gus Dur itu Sebenarnya Syiah
Sabtu, 31 Desember 2011 18:47 wib
JAKARTA -
Peringatan Asyura atau memperingati wafatnya cucu nabi Muhammad SAW,
Hasan dan Husain di Indonesia berlokasi di kediaman Abdurahman Wahid
atau Gus Dur.
Hal tersebut diutarakan oleh, Ketua Badan Hukum dan HAM Ikatan Jamaah
Ahlul Bait Indonesia (IJABI) , Maheswara Prabandono. Dikatakan dia,
Gus Dur juga sebenarnya adalah Syiah.
“Gus Dur sebenarnya Syiah. Kami merasa dari apa yang dia praktekan
dan cara dia membina hubungan dengan Iran,” kata Maheswara usai jumpa
pers di kantor pusat IJABI di Jakarta, Sabtu (31/12/2011).
Dijelaskan dia, Gusdur sebagai cucu KH Wahid Hasyim secara tradisi
dan ibadah, NU sangat dekat dengan ajaran Syiah, karena yang dipraktekan
NU cara Syiah. “Misalnya mengambil berkah atau tabaruk ke ziarah kubur
ke makam wali. Itu aslinya ajaran Syiah,” pungkasnya.
Organisasi pengikut aliran Syiah di Indonesia ini membandingkan
jaminan keamanan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan masa
kepemimpinan Abdurahman Wahid alias Gus Dur saat menjadi Presiden RI
keempat.
Menurut Ketua Dewan Syura IJABI, Jalaludin Rakhmat mengatakan, semasa
pemerintahan Gus Dur, kelompok Sunni dan Syiah tidak pernah terlibat
konflik.
“Pada jaman Gus Dur, dia menetapkan A, maka seluruh warga Nahdlatul
Ulama mengikutinya. Itu yang tidak terjadi pada pimpinan NU sekarang,”
ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar