
Muhammadiyah mengungkapkan yang membedakan Syiah dengan ajaran Islam
lainnya sebenarnya hanyalah dalam persoalan kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib.
“Dari sudut ajaran Islam, saya memang tidak sepakat dengan Syiah,
tapi perbedaan itu juga ada dalam paham-paham lain yang ada di dalam
Islam,” kata Ketua PP Muhammadiyah Syafiq A Mughni, di Surabaya, Rabu
29/8/2012), menanggapi konflik Syiah di Sampang, Madura, Jatim.
Menurut dia, hal yang tidak bisa disepakati umat Islam lainnya
terkait Syiah adalah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib atau perbedaan
dalam aspek politik.
“Itu biasa dan nggak mungkin semuanya dijadikan satu pendapat, karena
itu kepada Syiah dan aliran atau paham apapun sebaiknya justru saling
menghormati dan menghargai untuk membangun kehidupan yang lebih baik,”
ungkap dia.
Guru Besar Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya itu menjelaskan
perbedaan dengan Syiah dalam politik atau kepemimpinan itu memang
berdampak pada beberapa amaliah keagamaan.
“Dalam amaliah keagamaan, Syiah memang lebih cenderung kepada amaliah
yang terkait langsung dengan Ali bin Abi Thalib, tapi hal itu bukan
berarti sesat, karena itu hanya konsekuensi dari sebuah kultus
individu,” tutur dia.
SUNNI-SYIAH BERSATU ISLAM JAYA
Prof. DR. Din Syamsuddin Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
menegaskan, bahwa persatuan umat Islam khususnya antara Sunni dan kaum
Syiah, adalah mutlak perlu sebagai prasyarat kejayaan Islam. Kejayaan
umat Islam pada abad-abad pertengahan juga didukung persatuan dan peran
serta kedua kelompok umat Islam tersebut.
Pernyataan itu beliau katakan pada Konferensi Islam Sedunia yang
berlangsung di Teheran 4 sampai 6 Mei 2008. Konferensi yang dihadiri
400-an ulama dan zuama, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah dari
berbagai belahan dunia.
Din Syamsuddin yang berbicara pada sesi pertama bersama enam tokoh
Islam lainnya menegaskan bahwa antara Sunni dan Syiah ada perbedaan,
tapi hanya pada wilayah cabang (furu’iyyat), tidak pada wilayah dasar
agama (akidah), karena keduanya berpegang pada akidah Islamiyah yang
sama, walau ada perbedaan derajad penghormatan terhadap Ali bin Abi
Thalib.
- Jika ada sekelompok sempalan Islam mengatakan syiah sesat, maka itu jelas bertentangan dengan pernyataan Prof. DR. Din Syamsuddin ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua sesudah NU.
- Jika ada kiyai, habib, atau ustadz mengatakan syiah itu sesat, apapun dasarnya apakah mereka menganggap Prof. DR. Din Syamsuddin tidak paham Al-Qur’an dan hadis? Tentu beliau paham, bahkan mungkin paham ketimbang mereka yang mengatakan sesat. Jika ada orang Muhammadiyah mengatakan syiah sesat, tentu mereka menyalahi pandangan ketua umumnya.
- Jika syiah itu sesat, mana mungkin Prof. DR. Din Syamsuddin menyerukan persatuan sunni dan syiah?
KALIMAT YANG SAMA DAN MUSUH BERSAMA
Pada kesempatan yang sama, Konferensi Islam Sedunia yang berlangsung
di Teheran, Prof. DR. Din Syamsuddin menegaskan: Sunni-syiah harus
melakukan dialog dan pendekatan. Sehingga menurutnya, akan dapat dicapai
titik temu. Sehingga perlu dikembangkan tasamuh atau toleransi di
antara keduanya. Diakui, elemen umat Islam dalam kemajemukannya perlu
menemukan ˜kalimatun sawa`” dalam merealisasikan misi kekhalifahan di
muka bumi.
Kemudian dalam menghadapi tantangan terhadap umat Islam dewasa ini
menurut Din, umat Islam perlu menemukan dalam dirinya musuh bersama
(adduwun sawa). Dua hal ini yakni kalimatun sawa (common platform) dan
aduwwun sawa (common enemy) adalah faktor kemajuan umat. Perlu dipahami,
musuh bersama dalam Islam adalah kemiskinan dan keterbelakangan,
tandasnya. (lintasberita.com/Dunia/Berita-Dunia)
Dari pernyataan Prof. DR. Din Syamsuddin, jelas beliau menginginkan
persatuan sunni-syiah. Dengan persatuan sunni-syiah Islam akan jaya,
musuh-musuh Islam akan dapat disingkirkan. Yakni, kemiskinan, kebodohan,
keterbelakangan. Ini musuh-musuh kondisional. Tentu, kita harus
bertanya:
- Apa dan siapa penyebabnya? Itu juga musuh Islam dan umatnya.
- Kita lihat buktinya, mengapa Iran mampu mencetak para ahli nuklir?
- Mengapa Iran yang moyoritas penduduknya bermazhab syi’ah mencapai kemajuan sains dan teknologi 11 kali lipat disbanding Negara-negara yang lain? Jurnal Newscientist edisi Kamis (18/2) memuat hasil penelitian Science-Metrix, sebuah perusahaan di Motreal, Kanada yang melakukan evaluasi atas perkembangan dan produk ilmu pengetahuan serta teknologi di berbagai negara. Dalam laporan hasil penelitiannya, Science-Metrix menyebutkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan di negara Iran sebelas kali lebih cepat dibandingkan negara-negara lainnya di dunia. (forum.vivanews.com/politik)
- Mengapa Saudi Arabia yang mayoritas penduduknya bermazhab wahabi/salafi tertinggal dalam dunia sains dan teknologi? Yang kerjanya menggolontorkan uang untuk perpecahan umat Islam. Tidak percaya? Searching di Google “Saudi Gelontorkan Dana Besar Dukung Wahabi Lawan Revolusi Mesir”
- Bukankah kita semua mengetahui bahwa mufti dan ulama wahabi Saudi berada di bawah kekuasaan raja, patuh pada raja. Sementara rajanya patuh kepada Amerika dan Israel.
- Bukankah kita semua tahu bahwa di Iran, semua menteri patuh kepada Presiden, dan presiden patuh kepada ulama khususnya kepada pemimpin tertinggi spiritual, dan bersikap tegas terhadap Amerika dan Israel.
- Mana sistem pemerintahan yang lebih Islami, Saudi atau Iran?
Tiga Orientasi Keberagamaan

Oleh: Prof Dr HM Din Syamsudin MA
Ada tiga orientasi keberagamaan: Pertama, Keberagamaan yang dinamis,
ayat yang berhubungan dengan ibadah (termasuk ayat tentang puasa),
selalu berbentuk dalam kata kerja, seperti: la’allakum tattaqun, illa
liya’ budun, dll. Semua itu selalu berada dalam suatu proses yang tiada
henti untuk beribadah.
Keunggulan dinamis ini menjadi lebih penting tidak hanya keunggulan
komparatif (comparative advantage) atau keunggulan kompetitif
(competitive advantage), namun sekarang masyarakat mengenal manajemen
internasional sebagai keunggulan dinamis (dynamic advantage).
Keberagamaan itu merupakan suatu gerak, oleh karenanya keberagamaan kita
harus bergerak.
Sebuah gerakan haruslah memiliki dua dimensi utama, yaitu dinamika
sistematika, sebuah proses yang dinamis dan sistematis untuk mencapai
tujuan. Dinamika keberagamaan ini harus membawa kita pada orientasi
kemajuan dan keunggulan. Perlu dipahami bahwa ibadah bukanlah tujuan
dalam hidup kita, jika ibadah menjadi tujuan, maka selesai kita shalat,
maka selesai juga segala urusan. Selesai Ramadhan, maka betul-betul
“Lebaran” alias bubaran. Ibadah yang kita lakukan haruslah berproses,
dan akhir dari ibadah itu sebenarnya merupakan suatu awal. Saat kita
Salam ketika shalat, itu adalah awal. Akhir puasa atau Lebaran juga awal
bagi kita untuk merealisasikan makna-makna ibadah itu di luar masa
ibadah.
Kedua, Keberagamaan yang bersifat efektif (sebagaimana telah
diajarkan dalam ibadah puasa Ramadhan), yang berdampak kepada perilaku
dan kepribadian, bukan hanya sebagai sebuah ritual rutin. Oleh karenanya
spiritualitas yang diharapkan terlahir dari ibadah kita adalah
spiritualitas dinamis, bukan spiritualitas pasif atau statis, apalagi
yang berorientasi individual (ke-aku-an). Ibadah-ibadah yang kita
lakukan memang berorientasi kepada Tuhan, tapi juga harus ada orientasi
ke dalam (kepada diri manusia) untuk mengembangkan kepribadian.
Dalam beribadah memang tujuan kita lillahi ta’ala (hanya untuk
Allah), tapi bukan berarti kita beribadah hanya demi Tuhan untuk Tuhan,
tapi juga dalam niat lillahi ta’ala, terkandung makna di dalamnya li
an-nâs (untuk manusia). Bukan hanya lil mu’minin (untuk orang mukmin)
atau lil muslimin (untuk orang muslim) saja, tapi untuk seluruh manusia,
sebagai reduksi dari kata lil ‘alamin (untuk seluruh alam semesta).
Maka, keberagamaan yang efektif adalah yang membawa dampak kepada
kepribadian. Indikator ketaqwaan seseorang sangat jelas yaitu terletak
paka perilaku yang antara lain cenderung untuk berbagi kepada sesama
manusia dalam keadaan lapang maupun sempit.
Oleh karena itu, Islam mendorong peribadatan bukan hanya sekedar
mencari ridho Allah semata. Hal tersebut dapat kita lihat dalam konsep
penyelamatan. Dalam Islam penyelamatan merupakan keselamatan kolektif
bukan hanya keselamatan individual, bahkan alam semesta juga harus
dibangun kembali, di-restorasi, dan di-renovasi. Hal ini merupakan
sebuah gerakan peradaban yang sangat besar.
Bila kita mengukur ketaqwaan dari sudut kejiwaan, jika kita
menganalogkan pemikiran Imam Al-Ghazali dalam tahapan-tahapan dari jiwa;
diawali dengan an-nafs al ammarah bi as-syu’, an-nafs al-lawwamah, dan
yang tertinggi an-nafs al-muthmainnah. Jika kita lihat secara gradual,
maka an-nafs al ammarah bi as-syu’ merupakan kecenderungan an-nafs, jiwa
yang mendua atau berdimensi ganda (ambivalen).
Jiwa seperti ini kadang cenderung kepada kebaikan, tapi masih ada
juga kecenderungan kepada kejelekan. Hal ini kemudian menjadi problema
ambivalensi diri yang harus kita atasi dengan tarqiyatu an-nafs.
Kemudian naik kepada tingkatan kedua an-nafs al-lawwamah, di mana dalam
tingkatan ini seseorang yang berbuat kesalahan dan dosa masih ada rasa
penyesalan dan kesadaran diri untuk segera kembali kepada kebaikan.
Dalam Alquran dijelaskan: “Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi
yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (Q.S. Ali
Imran : 135).
Kemudian masuk kepada tingkatan yang tertinggi yaitu an-nafs
al-muthmainnah yaitu jiwa yang penuh ketenangan dan kedamaian. Kita
semua dapat menuju ke arah sana dengan sebuah keberagamaan yang dinamis,
efektif dan fungsional. An-Nafs bukan hanya bermakna jiwa, tapi juga
diri (self). Diri merupakan manifestasi ketika jasad dan ruh bertemu,
jadi jasad yg berkembang dalam kandungan ibu kemudian ditiupkan ruh.
Dalam ruh juga terdapat dimensi ilahi (divine dimension) dalam
kekuatan-kekuatan yang diberikan kepada kita. Jadi dalam diri kita
terdapat potensi-potensi insani yang berdimensi ilahi.
Ramadhan memang berdimensi penyucian jiwa (tazkiyatu an-nafs atau
self refinement), tapi Ramadhan juga bermakna peningkatan jiwa
(tarqiyatu an-nafs atau self empowerment). Maka Idul Fithri merupakan
hari raya kesucian sekaligus hari raya kekuatan. Untuk itu perlu
disempurnakan dengan saling silaturahim dan saling memohon maaf antar
sesama manusia. Silaturahim yang dinamis adalah bagaimana kita menjalin
kerjasama, menjalin silatu al-fikri dan silatu al-fi’li.
Ketiga, Keberagamaan yang fungsional, yaitu keberagamaan yang
berfungsi bagi kehidupan, kebudayaan, dan peradaban. Hal itu dapat
terjadi ketika kita dapat meraih prestasi dan keunggulan. Jadi
keberagamaan fungsional memiliki proses yang dinamis, efektif, dan juga
membawa dampak yang lebih luas, memiliki fungsi-fungsi sosial,
kebudayaan, dan peradaban.
Itulah yang dapat dilakukan oleh umat Islam sebagai umat terbaik
(khairu ummah). Dalam Al-Qur’an, kata shirat al-mustaqim (jalan
istiqamah) dapat diartikan sebagai jalan lurus, namun juga dapat
bermakna jalan tengah. Maka orang beragama perlu keberagamaan yang
pertengahan berdasarkan al-aqidah al-wasitiyyah (aqidah pertengahan).
Umat Islam disebut sebagai ummatan wasatho (umat pertengahan),
selengkapnya dalam Alquran disebutkan: Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kalian (umat Islam) umat pertengahan agar kalian menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kalian. (QS. Al-Baqarah: 143). Jadi kata shirat
al-mustaqim dapat diartikan sebagai jalan lurus, jalan tengah, dan
itulah jalan kemajuan yang mendaki.
Shirat al-mustaqim punya pengertian jalan tengah yang mendaki, bukan
hanya linear datar saja. Sehingga apabila kita dapat dengan selamat
dalam mendaki jalan lurus atau jalan tengah, maka kita akan mencapai
keberhasilan. Jadi apa pun posisi kita, maka berbuatlah sesuai kemampuan
kalian (i’malu ‘ala syakilatikum), karena hal itulah yang dianjurkan
dalam Islam. Dengan tahun demi tahun kita merayakan ‘Idul Fithri,
masing-masing kita hendaknya meningkatkan kapasitas diri (capacity
building) yang kemudian akan dapat meningkatkan kerja dan kinerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar