
Banyak ayat Al-Quran yang menceritakan Ahlulbait atau keluarga Nabi yang disucikan yang antara lain seperti di bawah ini:
1.Surah Al-Ahzab: 33
Dalam ayat ini Allah menyebut mereka Ahlulbait. Dia berfirman:
“Innamâ yuridu l`llâhu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa
yuthahhirakum tathhirâ”. Yang artinya: “Sesungguhnya Allah hendak
menghilangkan al-rijs dari kamu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu
sesuci-sucinya.” (QS 33/33).
Imam Ja’far Al-Shadiq ditanya mengenai makna al-rijs yang terdapat pada ayat diatas. Beliau menjawab:
“Al-Rijsu itu adalah al-syakk (keraguan)”. (Ma’ani l`Akhbar).
Jika kita tidak taat kepada Allah dalam satu perkara, maka hal itu
telah menunjukan kepada keraguan kita terhadap-Nya, semakin banyak
ketidaktaatan kita kepadanya, maka semakin besar pula keraguan kita
kepada-Nya. Ahlulbait yang disucikan itu sedikit pun tidak pernah ragu
kepada-Nya, oleh karena itu tidak ada satu pun keburukan atau
kemaksiatan yang mereka lakukan. Dan tidak adanya keraguan dari mereka,
dikuatkan dengan pensucian sesuci-sucinya, yang demikian itu menunjukan
bahwa mereka memiliki sifat ‘ishmah yang sangat kuat, mereka adalah
orang-orang ma’shum (tidak melakukan dosa dan kesalahan).
Sebagian kaum muslim beranggapan bahwa tafsir ahlul`bayt yang
terdapat pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw, mereka
menafsirkan demikian barangkali dikarenakan awal ayat tersebut ditujukan
kepada istri-istri Nabi yaitu : “Dan hendaklah kamu (istri-istri Nabi)
tinggal di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu bersolek seperti kaum
jahiliah yang pertama, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan
taatlah kepada Allah serta Rasul-Nya…”.
Tafsir seperti itu rasanya tidak benar karena kata ganti (personal
pronoun, dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbait berbeda;
untuk istri-istri Nabi dhamirnya mu`annats (feminine) sedangkan untuk
Ahlulbait dhamirnya mudzakkar (masculine). Kedua mereka tidak memakai
tafsir atau penjelasan dari Rasulullah dan para sahabatnya, padahal
orang yang paling mengetahui tafsirnya adalah Nabi saw, dan Al-Quran
telah memerintahkan kita untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam
firman-Nya berikut ini (yang artinya): “Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr
(Al-Quran) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka agar mereka berpikir”. (Al-Nahl 44).
“Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar kamu jelaskan kepada
mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman”. (Al-Nahl 64).
“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakan dan apa-apa
yang dia larang maka tinggalkanlah, dan ber-taqwa-lah kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya”. (QS 59/7).
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul
serta Uli l`amri (para khalifah Rasulullah yang dua belas) dari kamu…”.
(QS 4/59).
Kemudian siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam Al-Ahzab 33 menurut
Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Marilah kita perhatikan beberapa
riwayat berikut ini :
Ummu l`mu`minin Aisyah mengatakan : “Pada suatu pagi Rasulullah saw
keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna hitam.
Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau
memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk
bersamanya; kemudian datang Fathimah,lantas beliau memasukannya;
kemudian datang Ali, lalu beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca
ayat : ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan dari kalian
wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’”. (Lihat Shahih
Muslim bab fadha`il Ahli bayti l`Nabiyy; Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn
3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5).
Amer putra Abu Salamah – anak tiri Rasulullah – mengatakan : “Ketika
ayat ini (innama yuridu l`llahu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt
wa yuthahhirakum tathhira) diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau
memanggil Fathimah, Hasan dan Husayn sedangkan Ali as. berada di
belakang beliau. Kemudian beliu mengerudungi mereka dengan kain seraya
beliau berdoa : ‘Ya Allah mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari
mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya’. Ummu Salamah
berkata: ‘Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?’ Beliau bersabda :
‘Engkau tetap di tempatmu, engkau dalam kebaikan’”. (Al-Turmudzi 2:209, 308 ; Musykilu l`Atsar 1:335;
Usudu l`Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7).
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. telah mengerudungkan sehelai kain
ke atas Hasan, Husayn, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, “Ya Allah,
mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari
mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya,”. Kemudian Ummu
Salamah berkata: “Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau
bersabda, “Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan”. (HR Al-Turmudzi
2:319).
Anas bin Malik telah berkata : “Rasulullah saw pernah melewati pintu
rumah Fatimah ‘alayha l`salam selama enam bulan, apabila beliau hendak
keluar untuk shalat subuh, beliau berkata, ‘Salat wahai Ahlulbait!
Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai Ahlulbait
dan mensucikanmu sesuci-sucinya’”. (HR Al-Turmudzi 2 : 29).
Itulah beberapa kesaksian dari beberapa kitab rujukan bahwa Ahlulbait
dalam surah Al-Ahzab itu bukan istri-istri Nabi saw melainkan Ali,
Fathimah, Hasan dan Husayn sekalipun ayat tersebut digabungkan
penulisannya dengan ayat yang menceriterakan istri-istri Nabi saw sebab
di dalam Al-Quran mushhaf ‘utsmani ini terkadang dalam surah makkiyyah
terselip di dalamnya beberapa ayat madaniyyah atau sebaliknya atau satu
ayat mengandung dua cerita seperti pada ayat diatas dan tentu para ulama
telah maklum adanya.
2. Surah Al-Syura:23
Ketika orang-orang musyrik berkumpul di satu tempat pertemuan mereka,
tiba-tiba berkatalah sebagian dari mereka kepada yang lainnya : Apakan
kalian melihat Muhammad meminta upah atas apa yang dia berikan ?
Kemudian turunlah ayat : “Katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian
selain kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba”. (Al-Zamakhsyari dalam
tafsirnya Al-Kasysyaf).
Kemudian beliau berkata: Telah diriwayatkan ketika ayat tersebut turun bahawa ada orang yang bertanya:
Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas kami
mencintai mereka? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah Ali, Fathimah dan
kedua putranya (Hasan dan Husayn)”.
Ayat tersebut di atas telah mewajibkan seluruh manusia untuk
mencintai (mengikuti) keluarga Nabi atau Ahlulbait dan mencintai mereka
merupakan dasar di dalam ajaran Islam. Rasulullah saw bersabda (yang
artinya): “Segala sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai
Ahlulbaitku”. (Hadits yang mulia). Dan jika kita membenci mereka maka
amal baik kita akan menjadi sia-sia dan kita masuk neraka. Sabdanya :
“Maka seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan saum
kemudian dia berjumpa dengan Allah (mati) sedangkan dia benci kepada
Ahlulbait Muhammad, niscaya dia masuk neraka.” Al-Hakim memberikan
komentar terhadap sabda Nabi ini sebagai berikut: “Ini hadits yang baik
lagi sah atas syarat Muslim”. ( Kitab Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn
3/148).
3. Surah Ali ‘Imran:61
Ayat ini disebut sebagai ayat mubahalah karena di dalamnya ada ajakan
untuk ber-mubahalah dengan para pendeta nasrani. Adapun terjemahannya:
“Siapa yang menbantahmu tentang dia (Al-Masih) setelah datang kepadamu
ilmu, maka katakanlah (kepada mereka): Marilah, kami memanggil anak-anak
lelaki kami dan (kamu memanggil) anak-anak lelaki kamu,
perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu
dan diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita bermubahalah dan kita tetapkan laknat Allah atas mereka yang berdusta”.
Saksi sejarah yang hidup dan kekal yang diriwayatkan ahli-ahli tarikh
dan tafsir telah memberikan kejelasan kepada khalayak akan kesucian
keluarga Nabi saw yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Ayat tersebut
menunjukan betapa agungnya kadar dan kedudukan mereka di sisi Allah
‘azza wa jalla.
Diantara kasus yang disampaikan para muarrikh, mufassir dan muhaddits
ialah peristiwa mubahalah, yaitu ketika datang utusan dari masyarakat
keristen Najran untuk membantah Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa
alihi wa sallam—kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas agar
beliau memanggil Ali, Fathimah. Hasan dan Husain. Beliau keluar membawa
mereka ke lembah yang telah ditentukan dan para pemimpin keristen pun
membawa anak-anak dan perempuan-perempuan mereka.
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf berkata : “Sesungguhnya
ketika mereka diseru untuk bermubahalah mereka mengataakan : ‘Nanti akan
kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala mereka berpaling (dari
mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi juru bicara
mereka : ‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia berkata:
Demi Allah, kalian juga tentu mengetahui wahai umat nasrani bahwa
Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia datang kepadamu membawa
penjelasan mengenai Isa (Yesus). Demi Allah tidak ada satu kaum pun yang
mengadakan mubahalah dengan seorang Nabi lalu mereka hidup. Dan jika
kalian melakukan mubahalah dengannya niscaya kalian semua pasti binasa,
dan apabila kalian ingin tetap berpegang kepada ajaran kalian maka
tinggalkan orang tersebut dan pulanglah ke kampung halaman kalian”.
Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong Husayn dan
menuntun Hasan dan Fathimah berjalah di belakang beliau sedang Ali
berjalan di belakang Fathimah. Nabi bersabda : “Bila aku menyeru kalian
maka berimanlah !”. Melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup
Najran : “Wahai umat keristen, sungguh aku melihat wajah-wajah yang
sendainya mereka berdoa kepada Allah agar Dia (Allah) menghilangkan
sebuah gunung dari tempatnya pasti doa mereka akan dikabulkan, oleh
karena itu tinggalkan mubahalah sebab kalian akan celaka yang nantinya
tidak akan tersisa seorang keristen pun sampai hari kiamat”.
Akhirnya mereka berkata : “Wahai Abul Qasim, kami telah mengambil
keputusan bahwa kami tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin tetap
memeluk agama kami.” Rasul bersabda : “Jika kalian enggan mubahalah maka
terimalah Islam bagi kalian dan akan berlaku hukum atas kalian sebagai
mana berlaku atas mereka (muslimin yang lain).”
Kemudian Al-Zamakhsyari–rahimahu l`llah–menjelaskan kedudukan
Ahlulbait ketika menafsirkan ayat mubahalah, setelah dia menjelaskan
keutamaan mereka melalui riwayat dari Aisyah dengan mengatakan :
“Diantara mereka ada yang diungkapkan dengan anfusana (diri-diri kami);
ini adalah untuk mengingatkan akan tingginya kedudukan mereka dan ayat
ini adalah dalil yang sangat kuat dari-Nya atas keutamaan ashhabu
l`kisa` (Ahlulbait)—‘alayhimu l`salam”. Pertunjukan mubahalah yang tidak
terjadi itu telah menampilkan dua kekuatan yaitu iman versus syirik,
dan manusia-manusia mukmin yang tampil waktu itu (Rasulullah, Ali,
Fathimah, Hasan dan Husayn) adalah para tokoh petunjuk, umat terkemuka
dan orang-orang suci. Seruan mereka tidak boleh dibantah dan kalimat
mereka tidak boleh didustakan. Dari sini kita dapat memahami bahwa
apa-apa yang datang dari mereka baik pemikiran, syari’ah, tafsiran,
petunjuk maupun pengarahan adalah berlaku; mereka adalah orang-orang
yang benar dalam ucapannya, perjalanan hidupnya dan tingkah lakunya.
Al-Quran telah menganggap setiap yang berlawanan dengan mereka adalah
musuh-musuh, dan menjadikan musu-musuh mereka sebagai orang-orang yang
berdusta serta berpaling dari kebenaran yang sepantasnya mendapat laknat
dan azab. “…maka kami jadikan laknat Allah atas mereka yang berdusta.”
Dan juga dari segi bahasa yang sangat dalam pada ayat tersebut yang
harus kita perhatikan, yakni ketika mereka disandarkan kepada Nabi.
Hasan dan Husayn disebut sebagai “anak-aknak kami”, Fathimah sebagai
perempuan-perempuan kami” dan Ali sebagai “diri-diri kami”. Di sini Imam
Ali disandarkan kepada diri Nabi yang suci.
Sesungguhnya Rasulullah -shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa
sallam-hanya mengeluarkan empat orang ke arena mubahalah, ini berarti
memberikan penjelasan kepada kita bahwa Fathimah Al-Zahra` -‘alayha
l`salam- perempuan pilihan yang harus diteladani umat manusia; Imam
Hasan dan Imam Husayn -‘alayhima l`salam- adalah anak-anak umat yang
wajib kita taati sedangkan Imam Ali -‘alayhi l`salam- adalah dianggap
diri Nabi sendiri.
Ahlulbait dalam Sunnah Nabi saw
Orang yang membaca sunnah-sunnah Nabi saw, perjalanan hidupnya dan
memperhatikan hubungannya dengan Ahlulbaitnya yang telah ditegaskan di
dalam Al-Quran yakni Ali, Fathimah adan kedua putranya, pasti dia
mengetahui bahwa Ahlulbait Nabi mempunyai tanggung jawab risalah dengan
umat ini. Rasulullah saw telah menggariskannya untuk umat agar mereka
menerimanya sebagai perinyah dari Allah ‘azza wa jalla.
Langkah pertama yang ditempuh Nabi saw ialah melaksanakan perintah
Allah, yaitu menikahkan Fathimah kepada Ali bin Abi Thalib. Beliau
menanam pohon yang diberkati agar cabang-cabangnya menjangkau segala
ufuk umat ini di sepanjang sejaarahnya.
Tentang pernikahan itu Nabi bersabda kepada Imam Ali—salam atasnya :
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku agar aku menikahkanmu kepada
Fathimah dengan mahar empat mitsqal perak jika engkau rela dengan yang
demikian.” Dia berkata: “Aku rela dengan yang demikian.”
Dari pernikahan yang diberkati itu lahir Imam Hasan dan Imam Husayn.
Dan dari sulbi Imam Husayn lahir sembilan Ahlulbait Nabi yang suci.
Dzurriyyah (keturunan) Nabi melalui sulbi Imam Ali as sebagaimana yang
beliau katakan : “Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap
nabi dari sulbinya, tetapi dzurriyyahku dari sulbi orang ini yakni Ali.”
Cerita Ahlulbait Nabi saw dalam sunnahnya lebih banyak lagi, baik
tentang Fathimah sebagai sayyidatu nisa` l`’alamin, pengangkatan Ali
sebagai khalifah Nabi yang pertama, Ahllulbait sebagai padanan Al-Quran,
kedudukan mereka, dua belas imam maupun yang lainnya. Di sini kita
ceritakan dua hal saja, yaitu yang paling mengikat: Ahlulbait sebagai
bahtera keselamatan dan Ahlulbait padanan Al-Quran.
Bahtera Keselamatan
Abu Nuaym telah meriwayatkan hadits yang sanadnya dari Sa’id bin
Jubayr dari Ibnu Abbas dia berkata bahwa Rasulullah saw telah mengatakan
: “Perumpamaan Ahlulbaitku pada kamu adalah semisal bahtera Nuh—‘alayhi
l`salam—barangsiapa yang mengikutinya pasti selamat dan yang berpaling
darinya pasti dia tenggelam.” Hadits Nabi ini diriwayatkan Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 2/343. Dia berkata : Hadits ini sah
berdasarkan persyaratan Muslim. Pesan dari sunnah Nabi ini ialah bahwa
kita hanya akan
selamat jika mengikuti Ahlulbait Nabi yang disucikan.
Padanan Al-Quran
Ahlulbait telah dijamin kesuciannya, mereka yang menjaga tafsir
Al-Quran dan sunnah-sunnah Rasul, mereka yang menjaga kesucian ajaran
Islam dari penambahan dan pengurangan, dari bid’ah, khurafat dan
takhayyul.
Supaya umat tidak tersesat, maka Rasulullah saw berpesan kepada
manusia agar tida tersesat jalan, sabdanya : “Wahai umat manusia!
Sesungguhnya telah kutinggalkan pada kamu yang apabila kamu berpegang
dengannya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrahku
Ahlulbaitku.” (HSR Al-Turmudzi 2/308).
Ahlulbait Dikenal Umat Terdahulu
Ahlulbait telah dikenal oleh umat-umat terdahulu, antara lain oleh
Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa—salam atas mereka. Nabi Adam –salam
atasnya–telah bermohon kepada Allah dengan hak mereka. Ibn Abbas telah
berkata : “Saya telah bertanya kepada Rasulullah saw tentang
kalimat-kalimat yang telah diterima Adam dari Rabb-nya hingga Dia
menerima taubatnya. Nabi saw bersabda : “Dia telah bermohon (kepada
Allah) : Dengan hak Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn terimalah
taubatku, lalu Dia menerima taubatnya”. (Al-Durr al-Mantsur ketika
menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla : “fatalaqqa ‘Adamu min Rabbihi
kalimat,” (QS. Al-Baqarah 37), baca juga kitab Kanzu l`‘Ummal 1:234.
Sebuah team ahli peneliti Rusia telah menemukan tumpukan kayu bekas
kapal Nabi Nuh as. yang di dalamnya terdapat tulisan doa tawassul dengan
Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya. Mohammad, Ali, Hassan, Hossain,
Fatema.
Pada bulan Juli tahun 1951, sebuah team riset Rusia di sekitar gunung
Judi di perbatasan Uni Soviet dan Turki secara tidak sengaja, mereka
menemukan beberapa kuburan tumpukan kayu-kayu yang telah bobrok yang
terssusun secara luar biasa. Di antara tumpukan kayu tersebut ditemukan
satu plat kayu yang berukuran sekitar 10 x 14 inci. Pada palat kayu
tersebut terukir beberapa kalimat dalam bahasa kuno yang sudah tidak
dikenal. Pada tahun 1953 pemerintah Uni Soviet menunjuk sebuah komisi
peneliti yang terdiri dari tujuh orang ahli (untuk meneliti penemuan
tersebut), mereka menyimpulkan bahwa tumpukan kayu itu adalah bagian
bahtera Nabi Nuh—‘alayhi l`salam–yang terkenal itu. Dan kata-kata yang
terukir pada plat kayu adalah kata-kata dari bahasa Samani, yaitu suatu
bahasa yang sudah sangat tua. Kata-kata tersebut telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Rusia dan Inggris oleh Prof. N.F. Thomas, seorang ahli
bahasa-bahasa kuno dari Manchester, Inggris.
Pada plat kayu itu terdapat ukiran telapak tangan dengan lima jari.
Pada kelima jari tersebut terdapat tulisan masing-masing: Muhammad, Ali,
Hasan (syabar), Husayn (Syubayr), dan Fathimah. (Di bawahnya terdapat
doa tawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mereka): “Wahai
Tuhanku, wahai penolongku, aku berdoa dengan kemurahan-Mu melalui
tubuh-tubuh suci yang Engkau ciptakan, mereka terbesar dan termulia,
tolonglah aku melalui nama mereka, engkaulah yang mendatangkan cahaya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar