Pencarian Isi Blogg Ini

Kamis, 04 Oktober 2012

Sejarah Munculnya Syi'ah

 Sejarah Munculnya Syi’ah 

Bagian 2

e.Masa Sulit bagi Kaum Syi’ah

Setelah Imam Ali a.s. syahid di mihrab shalatnya, masyarakat waktu itu membai’at Imam Hasan a.s. untuk memegang tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at, Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup besar ke Irak sebagai pusat pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan peperangan dengan pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan iming-iming harta yang melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota pasukan Imam Hasan a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya sendirian. Melihat kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan meneruskan perang Islam akan hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat di sejarah 14 ma’shum a.s.)

Setelah Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H., --sebagaimana layaknya para pemeran politik kotor-- ia langsung menginjak-injak surat perdamaian yang telah ditandatanganinya. Dalam sebuah kesempatan ia pernah berkata: “Aku tidak berperang dengan kalian karena aku ingin menegakkan shalat dan puasa. Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas kalian, dan aku sekarang telah sampai kepada tujuanku”.

Dengan demikian, Mu’awiyah ingin menghidupkan kembali sistem kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah sebagai penerus kenabian. Hal ini diperkuat dengan diangkatnya Yazid, putranya sebagai putra mahkota dan penggantinya setelah ia mati.

Mua’wiyah tidak pernah memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi’ah untuk bernafas dengan tenang. Setiap ada orang yang diketahui sebagai pengikut Syi’ah, ia akan langsung dibunuh di tempat. Bukan hanya itu, setiap orang yang melantunkan syair yang berisi pujian terhadap keluarga Ali a.s., ia akan dibunuh meskipun ia bukan pengikut Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini saja, ia juga memerintahkan kepada para khotib shalat Jumat untuk melaknat dan mencerca Imam Ali a.s. Kebiasaan ini berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99-101 H.

Masa pemerintahan Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa tersulit bagi kaum Syi’ah di mana mereka tidak pernah memiliki sedikit pun kesempatan untuk bernafas.

Mayoritas pengikut Ahlussunnah menakwilkan semua pembunuhan yang telah dilakukan oleh para sahabat, khususnya Mu’awiyah itu dengan berasumsi bahwa mereka adalah sahabat Nabi SAWW dan semua perilaku mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh hadis-hadis yang telah mereka terima darinya. Oleh karena itu, semua perilkau mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun mereka salah dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap mendapatkan pahala berdasarkan ijtihad tang telah mereka lakukan.

Akan tetapi, Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, tidak masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan dan mengajak orang-orang yang ada si sekitarnya untuk merealisasikan hal itu, setelah tujuan yang diinginkannya itu terwujudkan, ia merusak sendiri cita-citanya dengan cara memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya, dan segala kesalahan, perampasan hak orang lain dengan segala cara, serta tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan dimaafkan.

Kedua, hadis-hadis yang “menyucikan” para sahabat dan membenarkan semua perilaku non-manusiwi mereka berasal dari para sahabat sendiri. Dan sejarah membuktikan bahwa mereka tidak pernah memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka saling menuduh, membunuh, mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di atas perlu diragukan.

Mu’awiyah menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid, putranya menduduki kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah membuktikan bahwa Yazid adalah sosok manusia yang tidak memiliki kepribadian luhur sedikit pun. Kesenangannya adalah melampiaskan hawa nafsu dan segala keinginannya. Dengan latar belakangnya yang demikian “cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama memerintah, ia tega membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya dengan dalih karena mereka enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia menancapkan kepala para syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya di kota-kota besar; Di tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan besar-besaran di kota Madinah dan menghalalkan darah, harta dan harga diri penduduk Madinah selama tiga hari kepada para pasukannya; Di tahun ketiga memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat muslimin.

Setelah masa Yazid dengan segala kebrutalannya berlalu, Bani Marwan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Bani Umaiyah menggantikan kedudukannya. Mereka pun tidak kalah kejam dan keji dari Yazid. Mereka berhasil berkuasa selama 70 tahun dan jumlah khalifah dari dinasti mereka adalah sebelas orang. Salah seorang dari mereka pernah ingin membuat sebuah kamar di atas Ka’bah dengan tujuan untuk melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim haji tiba.

Dengan melihat kelaliman yang dilakukan oleh para khalifah waktu itu, para pengikut Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan mereka. Di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka masih memilliki eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di masa keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s. Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali para keturunan Imam Ali a.s. karena tekanan yang dilakukan oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan melawan penguasa dan perlawanan mereka --meskipun mengalami kekalahan-- sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa eksistensi Syi’ah belum sirna.

Dikarenakan kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah melampui batas, opini umum sangat membenci dan murka terhadap mereka. Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terkahir mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri bersama keluarganya. Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan mereka enggan memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Rasulullah SAWW tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas, mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil memasuki kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani menampakkan batang hidung, mungkin karena malu atau karena sebab yang lain.

f. Syi’ah Pada Abad Ke-2 H.

Di akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena kelaliman dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar ingin membalas dendam atas darah Ahlu Bayt a.s., ia memulai perlawanannya terhadap dinasti Bani Umaiyah. Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar tersebut sehingga mereka mendukung pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk memberontak”.

Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam Ali a.s. dengan baik, dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para keturunan Imam Ali a.s. dan para pengikut mereka serta orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun dan para keturunan Imam Ali a.s. dibunuh atau dikubur hidup-hidup.

Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah.

g.Syi’ah Pada Abad Ke-3 H.

Dengan masuknya abad ke-3 H., para pengikut Syi’ah Imamiah mendapatkan kesempatan baru untuk mengembangkan missi mereka. Mereka dapat menikmati sedikit keleluasaan untuk mengembangkan dakwah di berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal berikut:

Pertama, banyaknya buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat untuk memperlajari ilmu-ilmu rasional dengan antusias. Di samping itu, peran Ma`mun Al-Abasi (195-218 H.) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut mazhab Mu’tazilah yang sangat mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan dan mempelajari argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena itu, ia memberikan kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama untuk menyebarkan teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut Syi’ah tidak menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan jangkauan mazhab Syi’ah ke berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog dengan para pemimpin agama lain demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah kepada khalayak ramai.

Kedua, Ma`mun Al-Abasi mengangkat Imam Ridha a.s. sebagai putra mahkota. Dengan ini, para keturunan Imam Ali a.s. dan sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para penguasa, dan menemukan ruang gerak yang relatif bebas.

Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena setelah semua itu berlalu, politik kotor dinasti Bani Abasiyah mulai merongrong para keturunan Imam Ali a.s. dan pengikut mereka kembali. Khususnya pada masa Mutawakil Al-Abasi (232-247 H.). Atas perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di Karbala` diratakan dengan tanah.

h.Syi’ah Pada Abad ke-4 H.

Pada abad ke-4 H., dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani Abasiyah dan kuatnya pengaruh para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab Syi’ah di Baghdad (pusat khilafah Bani Abasiyah kala itu), terwujudlah sebuah kesempatan emas bagi para penganut Syi’ah untuk mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa. Dengan demikian, --menurut pendapat para sejarawan--mayoritas penduduk jazirah Arab, seperti Hajar, Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus, Thabariah, Halab dan Harat menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang berdomisili di kota-kota besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Ahlussunnah dan kota Kufah sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi gesekan-gesekan antar mazhab. Tidak sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan Teluk Persia di Iran juga memeluk mazhab Syi’ah.

Di awal abad ini, seorang mubaligh yang bernama Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Imam Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan Nashir Uthrush (250-320 H.) melakukan aktifitas dakwahnya di Iran Utara dan berhasil menguasai Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana. Sebelumnya, Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu.

Pada abad ini juga tepatnya tahun 296-527 H., dinasti Fathimiyah yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar di sana.

Sangat sering terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di kota-kota seperti Bahgdad, Bashrah dan Nisyabur antara mazhab Ahlusunnah dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan antar mazhab tersebut, Syi’ah berhasil menang dengan gemilang.

i. Syi’ah Pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H.

Dari abad ke-5 hingga abad ke-9 H., sistematika perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh berbeda dengan sistematika perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya selalu didukung oleh kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di akhir abad ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama kurang lebih satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran, Iran. Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh, silsilah kerajaan Mongol memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan kemudian, raja-raja dari dinasti Aaq Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang berkuasa di Tabriz dan kekuasaan mereka terbentang hingga ke daerah Kerman serta dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil menyebarkan mazhab Syi’ah ke seluruh masyarakat ramai.

Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran dan dinati Alu Ayyub berkuasa, para pengikut Syi’ah mulai terikat kembali dan mereka tidak bebas menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh Syi’ah yang dipenggal kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang faqih kenamaan Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya pada tahun 786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, dan Syeikh Isyraq, Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab karena tuduhan mengajarkan filsafat.

j. Syi’ah Pada Abad ke-10 hingga ke-11 H.

Pada tahun 906 H., Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia 13 tahun, salah seorang keturunan Syeikh Shafi Al-Ardabili (seorang syeikh thariqah di mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153 H.), ingin mendirikan sebuah negara Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia mengumpulkan para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan pemberontakan dimulai dari daerah Ardabil dengan cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah yang dominan kala itu dan membebaskan seluruh daerah Iran dari cengkraman dinasti Utsmaniyah dengan tujuan supaya Iran menjadi negara yang tunggal. Dan ia berhasil mewujudkan cita-citanya tersebut sehingga sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah terbentuk dan berdaulat kala itu. Setelah ia meninggal dunia, kerajaannya diteruskan oleh putra-putranya. Mazhab Syi’ah kala itu memiliki legistimasi hukum yang sangat kuat sehingga semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah. Pada masa kecemerlangan dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang Agung, kuantitas pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada tahun 1384 H.

k. Syiah Pada Abad ke-12 hingga ke-14 H.

Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan sangat pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa di setiap negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk Syi’ah. Di masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia berjumlah 300.000 .000 lebih.

Tidak ada komentar: