Pencarian Isi Blogg Ini

Selasa, 25 Desember 2012

Kang Said: Ideologi Wahabi Selangkah Lagi Jadi Terorisme



Kiai NU Jatim dan ulama NU yang menolak TELAH BERKHiANAT KEPADA GUSDUR demi membela wahabi…

Kyai NU yang anti syi’ah melupakan wasiat Gus Dur tentang syi’ah

Kyai NU yang anti syi’ah melupakan sikap  Gus Dur terhadap wahabi

Menolak syi’ah sama saja membiarkan NU sendirian digempur wahabi tanpa ada yang membantu..
Betapa banyak jasa syi’ah indonesia dalam membela NU dan menolak wahabisme, alhamdulillah ada upaya untuk membentengi akidah ahlussunnah wal jama’ah dari serangan membabibuta kelompok salafi wahabi. semoga ALLAH SWT senantiasa menolong dan melindungi serta ridho thd upaya ini. amiin. wallahua’lam bi showab
Rahasia dapur NU akan diperlihatkan melalui guyonan Gus Dur. Pola laku, pola pikir dan pola tindak sang kiai semasa hidupnya merekam tuntas fenomena dan apa saja hal ikhwal yang terjadi di NU. Pikiran cerdasnya merekam dan ditularkan melalui kelakarnya.
.
Kini tersaji tuntas bahwa bagaimana sang santri, hingga tingkah warga NU yang menjadi politisi jadi bahan gelak tawa. Inilah salah satu bentuk keunggulan Gus Dur, tidak hanya sindir tapi lebih dari itu, yakni membuat orang berpikir. Buku ini mengoleksi segala canda ria Made In Gus Dur “wal khususon yang bercitarasa NU’.
Selamat “mengakakkan diri”
Inilah sedikit cerita dari pengalaman saya dengan seorang teman. Teman bercerita tentang banyak hal dan lebih sering lagi diskusi tentang agama. Saya masih ingat awal bulan Muharam tahun ini. Saat itu saya sedang berdiskusi dengannya di kantin; berdiskusi tentang tragedi besar di bulan Muharam: Asyura. Tiba-tiba saya didatangi seorang jammaah. Dia duduk dan mengatakan tertarik bergabung karena melihat buku tentang Karbala yang sedang kami bicarakan.
Saya tidak kenal dekat orang tersebut. Dia hanya datang lalu duduk dan memberikan kisah dari sudut pandangnya. Dia berusaha membuka-buka buku tersebut untuk mencari nama “Yazid”. Saat itu saya menangkap bahwa niatnya adalah mencari kata-kata penyesalan Yazid bin Muawiyah yang telah membunuh cucu nabi. Namun sayang, dia memilih halaman yang salah dan mengutip ucapan Yazid al-Asadi, adik Habib bin Mazhahir, sahabat Imam Husain. Setelah itu saya menangkap niatnya berbelok; mencari kata-kata pengikut Husain yang seolah membunuh Husain.
Meskipun tidak kenal dekat, kelakuannya yang seolah sangat dekat dan kenal dengan saya membuat saya heran dan curiga—kalau tidak ingin dituduh berprasangka. Apalagi dia membumbui pembicaraannya dengan memuji saya. Keheranan ini saya simpan dalam hati dan tidak menceritakannya kepada teman saya itu…
Sampai akhirnya, setelah tidak lama bertemu, teman saya bercerita dan ceritanya itu meyakinkan apa yang saya yakini selama ini. Ada orang-orang yang khawatir atau takut jika ada orang yang berteman dengan saya. Mereka khawatir bahwa saya adalah “agen” tertentu yang hendak menyebarluaskan sejarah Imam Husain as. yang identik dengan Syiah. Mereka takut orang-orang yang sepaham dengannya berkurang dan takut orang-orang yang tidak sepaham dengannya bertambah. Sebuah pemikiran yang sangat phobia. Ibarat preman, mereka takut kehilangan “wilayah kekuasaan”.
Kang Said: Ideologi Wahabi Selangkah Lagi Jadi Terorisme
.
Kamis, 29/11/2012 08:54
.
Walaupun dicaci maki banyak pihak, namun Said Aqil Siroj merupakan manusia yang sangat cerdas KARENA KERAS menghadapi wahabi yang berlindung dibalik gerakan anti syi’ah tetapi bertujuan merebut jama’ah NU
.
Kang Said membuat strategi dakwah dengan cara agar kader-kader nahdliyyin mengkampanyekan  ide-ide Aswaja melalui toleransi dengan syi’ah,  di tengah persaingan dengan ormas-ormas lain di Indonesia  maka NU perlu bantuan syi’ah. Apakah strategi dakwah seperti ini salah wahai ULAMA JATiM ???
.
NU  citranya kalah di hadapan aktifis ormas-ormas yang lain. Orang Wahabi itu, sampai saat ini, berhasil membangun citra sebagai ahli hadits, meskipun mereka hanya mengulang-ulang hadist yang sama di setiap forum.Strategi orang Wahabi yakni setiap bicara, mereka mengulang ucapan qola Rasulullah terus.
.
Nah, inilah yang menjadi perhatian penting kita.Ada tiga alasan yang menjadikan kader NU tidak siap dalam menyampaikan materi aswaja.  Pertama, gagasan ahlussunnah waljama’ah tidak disampaikan secara sistematis, argumentasi yang dibangun tidak kokoh. Kedua, kita sebagai orang NU tidak punya media sehebat wahabi yang diback up saudi + Amerika dan Israel. Ketiga, tanpa bantuan syi’ah padahal ritual syi’ah mirip dengan NU
.

“Ideologi Wahabi, satu dua langkah lagi akan menjadi terorisme,” kata KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU dalam sambutan pelepasan peserta pelatihan ‘Dauroh lil Imam wal Muazin’ di aula kantor PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (28/11) siang.

Ketakutan mereka mengingatkan saya pada ucapan Syekh Ahmad Deedat, kristolog masyhur yang juga seorang ulama suni:
Saya katakan kenapa Anda tidak bisa menerima ikhwan Syiah sebagai mazhab kelima? Hal yang mengherankan adalah mereka mengatakan kepada Anda ingin bersatu. Mereka tidak mengatakan tentang menjadi Syiah. Mereka berteriak “Tidak ada suni atau Syiah, hanya ada satu, Islam.” Tapi kita mengatakan kepada mereka “Tidak, Anda berbeda. Anda Syiah”. Sikap seperti ini adalah penyakit dari setan yang ingin memecah belah. Bisakah Anda membayangkan, kita suni adalah 90% dari muslim dunia dan 10%-nya adalah Syiah yang ingin menjadi saudara seiman, tapi yang 90% ketakutan. Saya tidak mengerti mengapa Anda yang 90% menjadi ketakutan. Mereka (Syiah) yang seharusnya ketakutan.
Sebenarnya, ini bukan pengalaman pertama. Pada masa awal kuliah, saya juga mendapat sebuah pesan anonim dari seorang teman di kelas. Kira-kira isinya: “Jangan bawa-bawa sekte ke kelas…!” Sebuah pesan yang sangat tendensius. Bagaimana mungkin saya harus melepas ideologi dan keyakinan saya, sementara mereka bebas menyuarakan pendapat. Bagaimana mungkin mereka bebas menggunakan istilah “berdakwah” sementara yang lain diberi label “menyesatkan”. Bagaimana mungkin saya harus diam ketika di kelas keyakinan saya dilecehkan!
Beberapa kali ada kejadian yang memaksa saya harus menyanggah ucapan dosen, sampai akhirnya dosen mengeluarkan kata-kata bijak nan sakti: “Sudaaahh… ikutilah apa yang kebanyakan diyakini umat (jumhur). Itu lebih aman…” Inikah jawaban yang “menenangkan hati” ketika di banyak tempat Allah mengingatkan kita:
Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (QS. 2: 234)
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. 6: 116)
Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. 6: 119)
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. 12: 40)
Atau (apakah patut) mereka berkata: “Padanya (Muhammad) ada penyakit gila.” Sebenarnya dia telah membawa kebenaran kepada mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran. (QS. 23: 70)
Begitu banyak peringatan dari Allah mengenai kebanyakan manusia, mulai dari yang tidak bersyukur, mengikuti prasangka, hanya mengikuti ajaran nenek moyang, sampai kebanyakan mereka yang di sekeliling nabi mengingkari kebenaran. Saya tidak mengatakan bahwa segala sesuatu yang mayoritas pasti salah. Apa yang ingin saya sampaikan adalah kebenaran tidak bisa diukur dengan kuantitas. Malah sebaliknya, kita membaca ayat Quran di mana Allah berfirman:
Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. 2: 249)
Berdakwah bukan memberi hidayah, inilah kata kuncinya. Para utusan Allah pun hanya bertugas menyampaikan. Berdakwah ialah tentang Islam bukan tentang furuk mazhab. Begitu juga dengan dakwah persatuan. Persatuan bukanlah mensyiahkan yang suni atau mensunikan yang Syiah. Saya hanya bagian dari partikel kecil yang hanya mendakwahkan ahlulbait, menyampaikan sejarahnya, kata-kata hikmahnya, ajarannya. Sedikitnya orang yang mengenal ahlulbait tidak mengurangi kemuliaan mereka di sisi Allah.
Seorang teman pernah memberi analogi begini: kata orang Jakarta, sop buntut paling enak itu adanya di Hotel Borobudur. Untuk meyakinkan orang lain, cukup sampaikan saja cerita bagaimana nikmatnya soto tersebut. Tidak wajib untuk mentraktir apalagi memaksa orang lain untuk makan di sana. Begitu juga, dakwah kita hanya menceritakan sedikit betapa indahnya Islam ahlulbait. Tidak perlu memaksa apalagi sampai “membagi-bagikan tiket ke surga”. Teman saya juga bilang, Syiah menjadi menarik karena ia adalah kelompok minoritas paling kuat dan bertahan sepanjang sejarah, meski telah mendapat cobaan dan ujian luar biasa.
Salah satu kekuatan tradisi Syiah maupun suni di Nusantara adalah kemampuannya membentuk Islam berkarakter moderat, toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Seperti ditunjukkan pada kemunculan kesultanan Islam pertama di Indonesia, Pasai, yang berkultur Syiah, hingga kehadiran Walisongo di Jawa. Tidak berlebihan kalau Abdurrahman Wahid dalam satu tulisannya di Warta NU (1995) menyebut penyebaran Islam di Nusantara dimungkinkan karena Islam suni di Jawa lebih berkarakter “Syiah kultural”.
Mengapa demikian?
Karena wajah yang seperti itulah yang menjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantara. Hal ini terjadi karena ada kesesuaian antara agama baru (Islam) dengan kepercayaan lama mereka. Setidaknya kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan ke dalam doktrin dan budaya Islam. Karena kemampuan berdialog dan melakukan tawar-menawar dengan kebudayaan setempat itulah yang menyebabkan agama Islam secara umum bisa berkembang dengan pesat tanpa menemukan benturan yang berarti dengan kepercayaan, tradisi dan budaya yang ditemui.
Hal inilah yang dilakukan misalnya oleh Syekh Burhanuddin Ulakan yang memperkenalkan tradisi “tabut” (perayaan Asyura) dan “basapa” (berjalan safar) di pesisir barat Sumatera abad 17. Sementara Syekh Jalaluddin al-Aidid memperkenalkan tradisi “maudu lompoa” (Maulid Nabi yang Agung) di daerah Makasar (kini di Cikoang, Takalar) pada abad 17. Perayaan “tabut”, “basapa” dan “maudu lompoa” semuanya menunjukkan karakter Islam Syiah. Tradisi ini diperkenalkan sebagai instrumen penyebaran agama Islam di Nusantara. Syekh Burhanuddin Ulakan dikenal sebagai penyebar Islam pertama di daerah Minangkabau dan Bengkulu, sementara Syekh Jalaluddin al-Aidid salah seorang tokoh penyebar Islam di daerah Sulawesi Selatan.
Meski disanggah oleh Hamka dan sejumlah penulis lainnya, pengaruh Syiah di daerah pesisir Sumatera seperti di Minangkabau dan Bengkulu cukuplah kuat. Seperti ditunjukkan pada perayaan Hoyak Tabuik (Tabut) atau Hoyak Husain, yang dirayakan untuk mengenang syahidnya Imam Husain, salah seorang cucu Nabi Muhammad saw. Upacara Hoyak Tabuik atau mengarak usungan (tabut) yang dilambangkan sebagai keranda jenazah Imam Husain yang gugur di Padang Karbala. Perayaan ini dimulai pada hari pertama bulan Muharam hingga hari kesepuluh.
Di Pariaman, Sumatera Barat, pada tanggal 1 Muharam, perayaan dimulai dengan mengambil lumpur dari sungai di tengah malam. Para pengambil lumpur harus berpakaian putih. Lumpur dikumpulkan ke dalam periuk yang ditutup kain putih, kemudian dibawa ke sebuah tempat yang disebut Daraga yang besamya 3 x 3 meter yang juga ditutup kain putih.
Pengambilan lumpur melambangkan pengumpulan bagian-bagian tubuh Imam Husain yang terpotong. Daraga melambangkan makam suci Imam Husain, sedangkan kain putih adalah perlambang kesucian Imam Husain. Pada tanggal 5 Muharam mereka menebang batang pisang dengan pedang yang sangat tajam. Batang pisang itu harus tumbang sekali tebas. Penebangan batang pisang ini melambangkan kehebatan putra Imam Husain, Qasim, yang bertempur bersenjatakan pedang di tanah Karbala. Pada tanggal 7 Muharam, persis di tengah hari, panja atau potongan jari-jari Imam Husain yang sudah dibuat sebelumnya dibawa ke jalan-jalan dalam sebuah belanga bersama dengan Daraga.
Biasanya orang menangis penuh kesedihan karena teringat tragedi Karbala yang mengenaskan. Pada hari kesembilan Muharam sorban atau penutup kepala wama putih yang melambangkan serban Imam Husain diarak di jalan-jalan untuk menunjukkan betapa hebatnya Imam Husain dalam membela Islam. Pada tanggal 10 Muharam ritual Tabuik mencapai puncaknya. Di pagi hari Tabut yang sudah dipersiapkan sebelumnya, Daraga, Panja dan serban diarak keliling kota dalam suatu pawai besar yang disaksikan oleh ribuan bahkan puluhan ribu penonton yang datang dari berbagai penjuru. Orang-orang pun berkabung dan berteriak Hoyak Tabuik, Hoyak Husain. Sore hari menjelang matahari terbenam saat arak-arakan selesai, semua benda-benda di atas diarak ke laut kemudian dibuang di tengah laut, lalu mereka pulang sambil melantunkan seruan, “Ali Bidaya… Ali Bidaya, Ya Ali, Ya Ali, dan Ya Husain.”
Sementara di Bengkulu, perayaan Asyura ini dinamakan “Tabot” dan sering juga dikenal dengan nama “Tabut”. Istilah “Tabot” berasal dari kata Arab (tabut) yang secara harfiah berarti “kotak kayu” atau “peti”. Perayaan ini berlangsung selama sepuluh hari. Pada hari terakhir, pada 10 Muharram, digelar tabot tebuang (tabot terbuang). Seluruh tabot berkumpul di lapangan diarak menuju Padang Jati, dan berakhir di kompleks pemakaman umum Karabela. Tempat ini menjadi lokasi acara ritual tabot tebuang karena di sini dimakamkan Imam Senggolo (sebutan untuk Syekh Burhanuddin Ulakan), perintis upacara tabot di Bengkulu. Kemudian bangunan tabot dibuang ke rawa-rawa yang berdampingan dengan makam, yang menandai berakhirnya segenap rangkaian upacara tabot.
Dalam perayaan tabot ini, adat dan kultur benar-benar memiliki ruh Islam atau bersendi syarak. Dalam kerangka ini, islamisasi telah berhasil dijalankan dengan merata di hampir seluruh daerah pesisir dan pedalaman Sumatera. Bukan hanya melalui perayaan dan upacara, tapi juga melalui lembaga adat dan pemangku adat. Syekh Burhanuddin wafat pada tahun 1680, dan dimakamkan di Ulakan, Pariaman. Dan ada pula yang menyebutnya di Bengkulu. Peran beliau dilanjutkan oleh putera angkatnya, Syekh Abdurrahman dan Syekh Jalaluddin. Semuanya berperan dalam membentuk karakter Islam Nusantara, yang moderat dan akomodatif terhadap kebudayaan setempat.

Tidak ada komentar: